REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Direktorat Reserse Krimsus Polda Jawa Barat mengungkap seorang tersangka berinisial DMR. Ia diduga sebagai penyebar berita bohong tentang aparat Kepolisian melakukan pelanggaran dalam proses pengamanan dengan membuka kotak suara di Kecamatan Indihiang dan Cipedes, Kota Tasikmalaya.
Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Selasa (23/4), menyebutkan berita bohong tersebut tersebar melalui video di media sosial. Isinya seolah-olah ada pembukaan kotak suara secara ilegal oleh aparat dan kemudian dihentikan oleh ormas.
"Semua itu tidak benar, maka dalam hal ini Direktorat Reskrimsus Polda Jabar langsung melakukan penyelidikan ketika itu dan kemudian Direktorat Siber langsung melakukan penangkapan dan pengungkapan ini," kata Trunoyudo.
Dia menyebutkan, saat itu di Gudang PPK Cipedes memang ada pengamanan dari TNI, Polri dan penyelenggara pemilu. Sejumlah aparat tersebut mencoba mengamankan Gudang PPK dari kelompok ormas mencoba masuk ke area pengamanan.
Namun, menurut dia, dalam video tersebut dikatakan sebaliknya. Aparat pengamanan menjadi yang dituduh melakukan pembukaan kotak suara.
"Saat itu adanya ormas yang menginginkan masuk ke area pengamanan tentu kita cegah. Namun sebaliknya di situ dikatakan justru mereka yang mencegah aparat yang mengamankan," katanya.
Dia menyebutkan, tersangka DMR ini merupakan seorang santri di sebuah pondok pesantren di Tasikmalaya. Pihaknya melakukan penangkapan di Jakarta karena tersangka memiliki pekerjaan sebagai satuan pengamanan di sebuah bank.
DMR mengaku tidak memiliki motif apapun dan tidak ada penyuruhan dari siapapun terkait penyebaran berita bohong tersebut.
"Videonya di instagram, nama akunnya amperacyber, saya bagikan juga di Facebook. Tidak Ada motif apa-apa, tidak ada yang diolah, hanya membagi konten doang," kata DMR.
Atas tindakannya, DMR terancam maksimal 6 tahun penjara dengan melanggar Pasal 45 a ayat 2 kemudian juga pasal 28 ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan juga Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.