REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mulai Senin (13/5) ini, Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta sudah memberlakukan tarif normal dari yang sebelumnya diskon 50 persen. Hari ini tarif rendah berdasarkan tempuh stasiun sebesar Rp 3.000 sampai tarif tertinggi Rp 14 ribu untuk Stasiun terjauh Lebak Bulus-Bundaran HI.
Pada pukul sekitar 09.00 WIB, sejumlah warga terlihat menggunakan moda transportasi yang diresmikan pada 24 Maret 2019 lalu. Salah satunya, Destini (27), pengguna MRT Jakarta sejak beroperasi secara resmi ini tetap memilih naik MRT untuk pergi pulang kantor meski harganya tak lagi diskon.
"Tidak masalah sih karena kalau saya incarannya waktu sih, jadi selama memang worth it buat saya, tidak masalah tarif normal, lagi pula membantu banget sih," ujar Destini.
Sebelum ada MRT, Destini biasanya melanjutkan perjalanan dengan memesan ojek daring. Akan tetapi, tarif ojek daring lebih tinggi dibandingkan harus membayar tarif normal MRT sebesar Rp 3.000 untuk satu stasiun. Selain itu, menurutnya, waktu tempuh menjadi alasan utama dan menghindari kemacetan.
Destini mengatakan, rumahnya berada di daerah Bekasi, sementara kantornya di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia harus menggunakan kereta rel listrik (KRL) terlebih dahulu untuk sampai di Stasiun Sudirman dan melanjutkan perjalanan naik MRT di Stasiun Dukuh Atas ke Stasiun Setibudi.
"Hanya satu stasiun, tapi kan menghindari macet. Karena kan saya dari Stasiun Sudirman naik KRL langsung ke sini, biasanya sih naik ojek tapi MRT membantu dari macetnya," kata dia.
Selain itu, ia merasakan sedikit diuntungkan karena stasiun MRT tak jauh dari kantornya. Sehingga, ia tak perlu lagi menaiki transportasi umum setelah turun dari MRT dan cukup berjalan kaki.
Hal senada juga diungkapkan Haryo (38), karyawan swasta di kawasan Setiabudi asal Bintaro, Tangerang Selatan. Ia mengaku, lebih memilih MRT Jakarta meski tarifnya sudah berlaku normal.
"Tidak apa-apa lah, memang lebih nyaman, sesuai, kenapa tidak, waktu tempuh, hemat, terus juga mengurangi waktu kita berpanas-panasan di jalan raya," kata Haryo.
Ia juga melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya menaiki KRL dan beralih ke MRT di Stasiun Dukuh Atas menuju Stasiun Setiabudi. Sementara ketika pulang, ia lebih memilih turun di Stasiun Lebak Bulus dan melanjutkan perjalanan dari sana untuk sampai ke rumah.
Namun, menurutnya, yang perlu dibenahi ialah konektivitas angkutan umum. Sebab, kata dia, dari Stasiun Lebak Bulus ke Bintaro tak ada bus pengumpan Transjakarta, hanya ada angkutan perkotaan (angkot).
"Yang kurang itu adalah konektivitas dari stasiun-stasiun yang menuju ke perumahan. Jadi contohnya Lebak Bulus, ke arah Ciputat ada, tapi ke arah Bintaro tidak ada, ke aeah Pamulang juga tidak ada transportasinya, kecuali angkot-angkot," tutur Haryo.
Selain itu, dari stasiun MRT ke kantornya pun, ia harus mengeluarkan biaya rata-rata Rp 20 ribu-40 ribu untuk satu kali perjalanan. Tergantung dari jenis moda transportasi yang ia pilih saat itu sesuai kebutuhan.
Untuk, ia meminta selain konektivitas angkutan, integrasi pembayaran antarmoda juga perlu disediakan agar lebih efektif dan efisien. Hal itu, lanjut dia, sebagai keunggulan dan insentif bagi mereka yang menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.
"Kan sudah Rp 14 ribu, adem, kita inginnya adem terus sampai rumah. Tapi ini tidak ada, belum (konektivitas antarmoda)," imbuhnya.