Senin 13 May 2019 13:35 WIB

Iran di Persimpangan Perang dan Damai

Rouhani mengatakan ini lebih berat dari perang Iran-Irak

Red: Budi Raharjo
Warga Iran membakar bendera AS di Teheran, Iran, Jumat (10/5). Wakil Menteri Luar Negeri Iran mengatakan tidak akan menghubungi Presiden AS Donad Trump.
Foto: AP Photo/Ebrahim Noroozi
Warga Iran membakar bendera AS di Teheran, Iran, Jumat (10/5). Wakil Menteri Luar Negeri Iran mengatakan tidak akan menghubungi Presiden AS Donad Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHRAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani, Ahad (12/5), mengingatkan bahwa kondisi yang dihadapi Iran saat ini mungkin akan lebih berat dari masa perang Iran-Irak pada 1980-an. Ia pun menyerukan rakyat Iran untuk bersatu dalam menghadapi masa sulit akibat sanksi berat yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS).

"Hari ini, memang kita tidak mengatakan apakah kondisinya lebih baik atau lebih buruk dari periode perang (1980-1988), namun pada perang saat itu, kita tidak memiliki masalah dengan perbankan kita, penjualan minyak, atau impor dan ekspor kita, yang ada hanyalah sanksi untuk pembelian senjata," kata Rouhanoi dikutip kantor berita IRNA.

Laman Aljazirah menyebutkan, saat ini Iran memang menghadapi sanksi AS yang kian ketat. Rouhani mengakui bahwa saat ini negaranya menghadapi tekanan yang tak terbayangkan jika dibandingkan ketika presiden Irak Saddam Hussein menginvasi Iran pada era 1980-an. Ketika itu, perang sengit berlangsung hingga delapan tahun diiringi kesulitan ekonomi.

"Tekanan dari musuh adalah perang yang tak terduga sepanjang sejarah revolusi Islam negara kita. Namun, saya tidak putus asa dan punya harapan besar untuk masa depan serta punya keyakinan bahwa kita bisa melewati semua kondisi sulit ini asalkan kita bersatu padu," ujarnya yang dikutip Aljazirah.

Tekanan kuat mendera Rouhani saat ini. Kelompok konservatif garis keras dalam negeri mengkritik Rouhani setelah pada 2018, Presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran yang ditanda tangani 2015.

Sejak saat itu, AS memberlakukan kembali sejumlah sanksi atas Iran. Tekanan lainnya, Rouhani juga ditinggalkan oleh sejumlah sekutunya yang berhaluan moderat.

Kesepakatan nuklir tersebut atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), ditandatangani Rouhani bersama kekuatan besar dunia saat itu, yaitu AS, Inggris, Cina, Rusia, Prancis, Jerman, dan Uni Eropa (UE).

Sementara itu, komandan divisi udara di Garda Revolusi Amirali Hajizadeh menilai, kehadiran militer AS di Teluk sebagai "peluang" bagi Iran. Hal ini terkait pengerahan kapal induk AS, yaitu USS Abraham Lincoln dan gugus tugas pengebom pesawat B-52 ke Timur Tengah.

Pekan lalu, Penasihat Keamanan Nasional (NSA) John Bolton menyebutkan pengerahan ini untuk menangkis serangan tak terduga dari Iran. "Dulu, sebuah kapal induk yang mengangkut sekurangnya 40 hingga 50 pesawat dan 6.000 personel di dalamnya adalah ancaman serius bagi kita. Namun, kini ancaman itu berubah menjadi peluang," kata Hajizadeh. "Jika mereka (AS--Red) melakukan gerakan, kita akan meghantam me reka di tempat."

Pada Ahad, komandan Garda Revo lusi Mayjen Hossein Salami mengatakan di hadapan parlemen Iran bahwa AS sudah memulai perang psikologis di kawasan. Ia pun memaparkan analisisnya tentang pergerakan kekuatan militer AS.

"Komandan Salami, dengan memu satkan perhatian pada situasi di kawas an, menyajikan sebuah analisis bahwa Amerika sudah memulai perang psikologisnya. Karena, sebe narnya datang dan perginya militer AS ada lah yang normal," kata juru bicara parlemen Behrouz Nemati, seperti dimuat laman resmi parlemen, ICANA.

Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mencicit di Twitter bahwa Bolton memang sudah lama berencana mengeluarkan AS dari JCPOA. Ia pun merujuk pada tulisan Bolton di National Review pada 2017 dengan judul "Cara Keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran".

"Itu sebuah cetak biru yang terperinci bagi #FakeIntelligence, #ForeverWardan bahkan menyebut tawaran kosong untuk berunding--hanya nomor telepon yang tidak ditu liskan di situ," cicit Zarif.

Laporan CNN pada Jumat (10/5) menyebutkan, Gedung Putih telah menyerahkan nomor telepon kepada Swiss. Nomor itu dapat digunakan untuk menghubungi Trump jika pejabat Iran ingin menjalin pembicaraan. Saat ini, Kedutaan Besar Swiss di Teheran bertindak mewakili kepentingan AS di Iran.

photo
Kapal Induk Abraham Lincoln kelas Nimitz berbahan bakar nuklir

Pada Sabtu lalu, pengadilan menangguhkan penerbitan majalah pekanan Seda yang artinya "suara". Kantor berita semiresmi Iran, ISNA, menyatakan majalah tersebut ditangguhkan setelah menerbitkan tulisan tentang kemungkinan Iran berperang dengan AS.

"Di persimpangan perang dan damai, apakah kaum moderat telah kalah atau akankan mereka kembali menyelamatkan Iran dari perang?" demikian laporan utama Majalah Seda dengan menampilkan foto kapal perang AS.

Laporan Aljazirah menyebutkan, melalui media sosial kaum garis keras menyerang Seda dengan menyebutnya sebagai "suara Trump". Mereka menafsirkan peringatan tentang kemungkinan perang sebenarnya seruan tersirat Seda agar Iran membuka pembicaraan dengan AS. (reuters ed: yeyen rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement