REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menerapkan gaya hidup halal atau sesuai syariah tengah menjadi tren belakangan ini. Namun, hal tersebut tampaknya tidak sejalan dengan perkembangan wakaf asuransi sebagai salah satu instrumen pembangunan ekonomi Islam.
Sejak diperbolehkan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 2016 lalu, perkembangan wakaf asuransi terbilang cukup lambat. Corporate Director KARIM Consulting Indonesia Pengurus Pusat MES, Muhammad Yusuf Helmy, perlambatan itu didorong oleh pemahaman yang berbeda diantara kalangan Muslim mengenai syariah.
"Masyarakat kita walaupun 87 persen umat Islam, persepsinya terhadap syariah tidak sama," ujar Yusuf, di Jakarta, Selasa (14/5).
Tantangan lainnya, menurut Yusuf, literasi keuangan yang masih sangat rendah. Wakaf asuransi sendiri baru populer selama dua tahun terakhir. Perusahaan perbankan atau asuransi pun masih sedikit yang memiliki produk atau program wakaf asuransi ini.
Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI), secara umum Indonesia memiliki potensi wakaf yang sangat besar sekali yaitu mencapai Rp180 triliun. Namun, hingga tahun lalu penyerapannya masih sekitar Rp400 miliar.
Menurut Yusuf, fitur wakaf asuransi bisa menjadi salah satu cara dalam meningkatkan penghimpunan dana wakaf. Yusuf mengatakan, apabila potensi wakaf ini bisa digarap secara optimal, manfaat wakaf tidak hanya sebatas menunaikan ibadah tetapi juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, tambahnya, wakaf juga dapat menurunkan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. "Kalau dulu berwakaf itu hanya untuk tujuan agama saja, sekarang pengertiannya kita perluas. Berwakaf juga bisa untuk fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah dll,"kata Yusuf