REPUBLIKA.CO.ID, MOJOKERTO -- Kedua tangan Tatik dengan cekatan memilah sampah yang disesuaikan dengan jenisnya. Sampah-sampah tersebut dipilah dan dimasukkan ke dalam beberapa keranjang dan baskom yang berada di sekelilingnya. Setiap keranjang dan baskom tersebut diisi jenis sampah berbeda. Seperti aluminium, kaleng, dan plastik. Plastik pun dipisah lebih spesifik lagi seperti khusus botol-botolan, campur, blowing, dan sebagainya.
Enam tahun sudah perempuan bernama lengkap Tatik Purwati itu menjadi pengepul sampah di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Tatik mengungkapkan, sebagian besar masyarakat di desa tersebut bekerja sebagai petani, pengepul, maupun pemilah sampah.
"Di sini kan ada tiga dusun, Dusun Bangun, Kalitengah, dan Ploso. Sebagian besar masyarakatnya ya gini milah sampah, walaupun ada juga yang petani. Saya juga dulu 12 tahun petani, tapi sudah enam tahun jadi pengepul," kata ibu tiga anak tersebut, saat berbincang dengan Republika, Rabu (14/5).
Tatik mengungkapkan, sampah-sampah yang dipilah masyarakat di sana diperoleh dari PT. Pakerin, sebuah perusahaan yang memproduksi kertas dan bahan kimia. Sampah-sampah tersebut oleh perusahaan dijual ke petani plastik, dengan harga Rp 120 ribu per truk. Sampah plastik tersebut kemudian dipilah.
"Setelah mereka pilah itu, baru dijual ke pengepul seperti kami ini. Harganya kalau plastik dipukul rata Rp 1.700 per kilo, aluminium Rp 10.000 per kilo, dan kaleng Rp 800 per kilo. Kita pilah lagi nanti dipisah plastik sesuai jenis-jenisnya," ujar perempuan asli Mojokerto tersebut.
Setelah dipilah, lanjut Tatik, plastik tersebut olehnya dijual ke penggiling dengan harga rata-rata Rp 6.500 per kilogram. Sementara, aluminium dijualnya ke pelebur dengan harga Rp 13.000 per kilogram. Tatik mengaku, satu kali belanja sampah ke petani, dirinya mengeluarkan modal sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2 Juta.
Tatik mengaku, membutuhkan waktu sekitar dua hari untuk memilah sampah tersebut, sebelum akhirnya dijual ke penggiling dan pelebur. "Dari satu kali belanja itu, saya rata-rata keuntungannya Rp 2 juta," ujar Tatik.
Dalam mengerjakan pemilahan sampah tersebut, Tatik dibantu tetangganya, Ani Wahyuningtyas (30). Ani mengaku tidak masalah meskipun harus seharian dikelilingi sampah demi mencari penghasilan tambahan. Ani mengaku, satu-satunya masalah yang sering ditemui adalah rasa gatal atau sesak yang diderita, seteleh memilah sampah.
"Sering gatal-gatal tangan ini bisa sampai tiga hari gatal. Terus debunya juga masuk ke odung kan jadi kadang sesek. Makanya pakai masker. Tapi di desa kan dua kali seminggu itu ada pengobatan gratos, jadi masalah-masalah gatal-gatal itu ya ilamg abis diobatin itu biasanya," ujar Ani.
Petani sampah plastik, Marzuki (51) mengungkapkan, dirinya membeli sampah dari PT. Pakerin dengan harga Rp 120.000 per truk. Sampah tersebut kemudian dipilah. Ada yang masuk kategori rongsokan seperti plastik, aluminium, dan kaleng. Ada juga yang menjadi sampah, yaitu plastik-plastik tipis dan kecil.
Rongsokan tadi kemudian dipilah sesuai jenisnya, untuk kemudian dijual ke pengepul. Sementara sampah plastik, dijemur hingga kering, dan nantinya dijual ke pabrik pembuatan tahu di sekitar daerahnya. Sampah plastik tersebut dijual dengan harga Rp 120.000 per pick up.
"Jadi benar-benar gak ada yang kebuang karena semuanya juga laku dijual. Yang rongsokan tadi seperti plastik, aluminium gitu-gitu dijual ke pengepul. Kalau yg sampahnya itu ketika udah kering dijual ke pabrik tahu buat bahan bakar," kata Marzuki.