REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Veri Muhlis Arifuzzaman mengatakan menolak hasil pemilu adalah contoh konkret inkonsistensi politik. Itu karena dalam prosesnya ada kesepakatan bersama untuk taat aturan, siap menang, siap kalah dan siap didiskualifikasi jika melanggar.
Veri melihat sejauh ini kedua kubu cukup mentaati aturan, terbukti mereka memenuhi semua peraturan yang berlaku seperti melaporkan dana kampanye sesuai tenggat yang ditentukan. “Itu kan artinya pada gak mau didiskualifikasi, karena siapa yang tidak menyerahkan laporan keuangan bisa kena itu,” ujar direktur Konsepindo Research and Consulting berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (18/5).
Ia pun yakin semua pihak pada waktunya pasti akan mengakui hasil pemilu karena itu adalah proses demokrasi yang legal konstitusional. Meski begitu Veri menganjurkan kubu yang kalah nanti, jika merasa tidak puas bisa menempuh jalur hukum. Menurutnya itu prosedur normal dan sudah mentradisi.
Membangun opini penyelenggara curang tanpa mengajukannya ke pengadilan sama saja mengajarkan untuk menciptakan kebohongan atau hoaks. “Bawa bukti-bukti kecurangan itu, adu argumen dan data di pengadilan. Itu jalan ksatria. Jangan MK yang belum bekerja sudah diopinikan tidak bisa dipercaya. Kerja saja belum mereka itu. Lagipula dimanapun menuntut keadilan ya melalui pengadilan harusnya,” ujarnya.
Veri meyakini pada waktunya semua akan menerima kenyataan. Menurutnya, ribuan pemilu langsung di daerah sudah digelar dan puluhan ribu pasangan kalah, jalur hukum ditempuh untuk menggugat kekalahan, masa tokoh-tokoh tingkat nasional kalah dewasa sama tokoh daerah.
Ia juga menyampaikan bahwa unjuk rasa di jalanan untuk menuntut kemenangan dalam pemilu padahal pemilu sudah diumumkan siapa pemenangnya lama-lama tidak akan relevan. Veri menyarankan untuk menempuh jalur yang disediakan konstitusi. Laporkan kecurangan kalau memang ada kecurangan tapi harus yang substansi jangan yang ecek-ecek.
“Juga harus jelas unsur mana yang dilaporkan. Jangan KPU yang dilaporkan tapi pemerintah yang seret-seret. Kekuasaan keduanya berbeda, mereka sejajar tidak saling membawahi, masa nggak tahu. Justru dalam konteks pemilu sekarang ini yang punya kekuasaan super malah Bawaslu. Mereka bisa memeriksa dan menghakimi serta memutuskan termasuk bisa mendiskualifikasi,” tuturnya.