REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A. Ilyas Ismail
Dalam sebuah dialognya, Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada Allah, "Apakah Engkau jauh sehingga aku perlu memanggil-Mu keras-keras, atau Engkau dekat sehingga aku cukup berbisik kepada-Mu?"
Jawab-Nya, "Kalau Kukatakan jauh, kamu tak dapat mencapainya, dan kalau Kukatakan dekat, kau pun tak bakal mampu menempuhnya."
Pernyataan Tuhan di atas, menurut pakar tafsir Al-Raghib al-Ashfahani di kitab Al-Mufradat fi Gharib Alqur'an, bermakna bahwa Tuhan pada hakikatnya amat dekat hamba-Nya. Bahkan menurut Alquran (QS. 50:16), Tuhan justru lebih dekat kepada manusia ketimbang urat nadinya. Namun, kedekatan-Nya tidaklah bersifat fisik seperti dibayangkan Musa dalam dialog di atas, melainkan bersifat rohani dan spiritual.
Ia mendekati hamba-Nya melalui petunjuk dan limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga banyaknya. Inilah makna kedekatan Allah kepada manusia. Lalu, bagaimana dengan kedekatan manusia kepada-Nya?
Menurut al-Ashfahani, kita dapat mendekati-Nya secara rohani pula, yaitu menghiasi diri sebanyak mungkin dengan "sifat-sifat" Allah, seperti sifat bijak-bestari (hikmah), sifat ilmu, sifat penyantun, dan kasih sayang. Ini semua dapat terjadi -- meski disadari bahwa manusia tidak mungkin menjadi Tuhan -- bila kita mampu menghilangkan berbagai kotoran dan dosa kita.
Setiap kita tentu berbeda-beda kedekatannya dengan Allah, bergantung dan setingkat dengan upaya yang kita lakukan. Menurut Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dalam sekian banyak karyanya, orang-orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok al-muqtashidun, kelompok sedang atau pertengahan, yaitu orang-orang yang mendekati Allah dengan menjalani semua kewajiban dan menjauhi semua larangan Allah SWT.
Kedua, kelompok al-muqarrabun, kelompok terdepan, yang mendekati Allah bukan saja dengan melakukan seluruh kewajiban dan menjauhi semua larangan, melainkan juga melengkapi diri dengan berbagai ibadah-ibadah sunnah (al-mandubat). Bahkan mereka mampu menjadikan semua aktifitasnya, meski tidak bersifat khas keagamaan, bermakna dan memiliki nilai pengabdian.
Allah akan menyambut hamba-Nya yang dengan tulus dan ikhlas hendak kembali ke jalan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi yang sangat populer di kalangan kaum sufi, Allah SWT berfirman, "Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku telah datang menghampirinya sehasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang menyambutnya dengan berlari. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berlari, maka aku datang menyongsongnya lebih cepat lagi."
Sungguh beruntung orang yang memiliki kesadaran untuk kembali ke jalan-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya sebesar apa pun dosa dan kesalahan yang pernah ia lakukan. Pintu taubat dan pintu rahmat-Nya selalu terbuka lebar-lebar bagi siapa saja yang mau mengetuk dan membukanya.