REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Irak akan mengirim delegasi ke Washington dan Teheran untuk membantu menghentikan ketegangan. Upaya ini dilakukan di tengah kekhawatiran konfrontasi antara Amerika Serikat (AS) dan Iran di Timur Tengah.
Perdana Menteri Irak Abdel Abdul Mahdi mengatakan, tidak ada kelompok di Irak yang mendorong AS dan Iran untuk berperang. Pernyataan ini dilontarkan dua hari setelah sebuah roket yang ditembakkan di Baghdad dan mendarat dekat dengan Kedutaan Besar AS.
Tidak ada yang mengklaim bertanggung jawab atas tembakan roket tersebut. Sumber pemerintah AS mengatakan, Washington mencurigai milisi Syiah yang memiliki hubungan dengan Teheran sebagai dalang dari serangan roket itu. Iran menolah tuduhan keterlibatan dalam serangan tersebut.
Utusan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Irak, Jeanine Hennis Plasschaert mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB Irak dapat menjadi faktor penstabil di wilayah yang bergejolak, dan bukan menjadi arena konflik. Irak dapat menawarkan ruang untuk rekonsiliasi regional dan membuka jalan untuk menggelar dialog keamanan regional.
"Pada saat yang sama, kita tidak dapat mengabaikan Irak menghadapi tantangan serius dalam mencegah wilayahnya menjadi arena untuk berbagai kompetisi. Jadi, bagi semua yang merasa tertantang menempatkan beban lebih lanjut pada Irak adalah benar-benar hal terakhir yang dibutuhkan," ujar Plasschaert, Rabu (22/5).
Wakil Duta Besar Rusia untuk Rusia Vladimir Safronkov mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB, eskalasi ketegangan di Teluk harus dihentikan. Selain itu, konfrontasi harus diganti dengan dialog.
"Upaya untuk menarik negara (Irak) ke dalam konfrontasi yang dipicu secara artifisial dengan Republik Islam Iran benar-benar kontraproduktif, dan hanya akan memiliki dampak negatif pada situasi di Irak dan kawasan secara keseluruhan," kata Safronkov.
Dua pejabat pemerintah Irak menyampaikan kepada The Associated Press mereka memiliki posisi yang sulit. Pemerintahannya bersekutu dengan AS dan juga Iran. Ketika ketegangan antara AS dan Iran meningkat, ada kekhawatiran Bahgdad dapat terperangkap di tengah. Irak menampung lebih dari 5.000 tentara AS, dan merupakan rumah bagi milisi kuat yang didukung Iran.
"Pertanyaan besar adalah bagaimana para pemimpin Irak akan menangani kepentingan nasional (mereka) di negara di mana kesetiaan kepada kekuatan eksternal tersebar luas dengan mengorbankan bangsanya sendiri," kata analis politik Irak, Watheq al-Hashimi.
"Jika negara tidak dapat menempatkan ini (milisi yang didukung Iran) di bawah kendali, Irak akan menjadi arena bagi konflik bersenjata Iran-Amerika," ujar Hashimi menambahkan.
Bagi Irak, menjadi medang perang bagi perang proksi bukanlah hal baru. Negara mayoritas Syiah itu berada di garis patahan antara Iran Syiah dan sebagian besar dunia Arab Sunni, yang dipimpin oleh Arab Saudi. Irak telah lama menjadi medan perang, di mana persaingan Saudi-Iran untuk supremasi regional dimainkan.