Rabu 22 May 2019 18:31 WIB

Perbaiki Neraca Migas, Ekonom: Harus Ada Insentif Eksplorasi

Pemanfaatan hasil eksplorasi untuk domestik lebih optimal dampaknya ke neraca migas

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, defisit neraca dagang migas dapat diperbaiki dengan mengurangi impor minyak. Di antaranya dengan memanfaatkan minyak nabati untuk diolah sebagai bahan bakar dan memaksimalkan hasil eksplorasi minyak mentah dalam negeri untuk penggunaan domestik.

David mengatakan, upaya pertama sudah dilakukan pemerintah dengan implementasi B20 yang tahun depan akan diarahkan ke B30. Program ini sebenarnya telah terlihat ke penurunan impor minyak diesel.

Baca Juga

"Dibandingkan kuartal terakhir, sudah menurun," ucapnya ketika dihubungi Republika, Rabu (22/5).

Sementara itu, David menambahkan, realisasi langkah kedua masih menghadapi hambatan karena terkait kapasitas kilang dan produksi minyak mentah yang terus menurun. Menurut catatannya, pada 1990-an, tingkat produksi dapat mencapai 1,2 juta hingga 1,3 juta barel per hari. Angka tersebut terus merosot sampai di angka 700 ribu barel per hari.

Oleh karena itu, David mendorong pemerintah untuk aktif menarik investasi di bidang perminyakan guna memperbesar eksplorasi. Apabila kapasitas kilang sudah membesar dan produksi minyak meningkat, pemanfaatan hasil eksplorasi untuk pasar domestik akan lebih optimal dampaknya terhadap neraca dagang migas.

Saat ini, David mengatakan, sudah ada beberapa negara yang menyatakan minat untuk investasi di sektor minyak Indonesia. Sebut saja Arab Saudi yang sudah setuju memperbesar kilang di Cilacap. Kemungkinan, mereka juga akan melakukan investasi lain di Kalimantan. "Investasi ini yang harus terus digenjot," ujarnya.

Salah satu tantangan Indonesia untuk menarik investasi minyak adalah insentif. David menilai, investor kurang tertarik menanamkan modal di Indonesia di tengah kondisi produksi yang cenderung moderat. Terlebih, pasokan global relatif berlimpah setelah ada Shell Oil dari Amerika yang mampu meningkatkan produksi dua kali lipat.

David menuturkan, Indonesia harus mempelajari skema-skema insentif di negara tetangga yang sudah berhasil mengundang investor di sektor perminyakan.

Anggaran pemerintah juga sebaiknya difokuskan sebagai insentif kepada investor di sektor energi terbarukan. Menurut David, anggaran untuk subsidi BBM sudah sepatutnya dicabut karena menjadi kebiasaan buruk bagi masyarakat.

"Anggaran harus didorong untuk memberikan insentif di energi lain, seperti matahari ataupun panas bumi," ucapnya.

Dengan dorongan insentif tersebut, David optimistis, neraca dagang migas dapat membaik. Sebab, permasalahan terbesar sektor migas saat ini adalah keterbatasan kilang yang berdampak terhadap produksi. Padahal, tingkat konsumsi masyarakat terus meningkat, dari 1 juta barel per hari pada 10 tahun lalu menjadi 1,3 juta sampai 1,4 juta barel per hari di tahun ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement