REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan polusi plastik di lautan semakin mengkhawatirkan. Tidak hanya tentang pencemaran, tetapi juga rusaknya ekosistem makhluk hidup di lautan.
Menurut organisasi World Wide Fund for Nature (WWF), dunia kini memproduksi hampir 300 juta ton plastik setiap tahun. Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah sampah yang tidak didaur ulang. Kebanyakan di antaranya dibuang begitu saja ke laut.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Maret lalu, organisasi lingkungan itu mendokumentasikan adanya peningkatan tajam produksi plastik sekali pakai sejak tahun 2000.
Saat ini, dilaporkan 85 persen sampah laut adalah plastik. Selain itu, diprediksi pada 2030 nanti limbah plastik akan bertambah hingga 104 juta ton.
Lebih lanjut, 20 tahun mendatang diperkirakan lautan akan lebih banyak dihuni oleh plastik dibandingkan ikan.
Sejumlah negara dan komunitas global telah berupaya mengantisipasi isu pencemaran lingkungan di lautan. Sebagai contoh, China telah mengambil langkah tegas untuk menolak sampah-sampah dari negara-negara maju. Selama ini, sejumlah negara maju mengirim sampah mereka ke Negeri Tirai Bambu.
Penghentian pengelolaan limbah negara-negara maju di Cina ini, mendorong timbulnya langkah-langkah negara maju untuk mencari alternatif lain.
Di luar itu, pada awal tahun ini, para legislator Uni Eropa secara luas menyetujui larangan barang-barang plastik sekali pakai. Misalnya, sedotan, garpu dan pisau plastik, cotton bud, dan lain-lain.
Pelarangan ini ditujukan untuk melawan polusi di tengah upaya untuk mendorong produsen meningkatkan upaya daur ulang mereka. Langkah yang rencananya akan mulai berlaku pada 2021 itu, menargetkan pelarangan 10 produk plastik sekali pakai.