REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Luar Negeri Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengungkapkan, proposal perdamaian antara Palestina dan Israel yang digagas Amerika Serikat (AS) masih menuai masalah. Saat ini, lanjut dia, titik persoalan adalah buntunya komunikasi antara AS dan Palestina.
"Sejauh yang kita lihat, saat ini ada keterputusan antara Palestina dan AS," ujar al-Thani kepada awak media di London, Inggris, Ahad (9/6).
Dia mengakui, Palestina telah menolak proposal perdamaian yang dirancang AS. Sebab, rencana itu diprediksi tidak akan memenuhi tuntutan politik Palestina. "Jika rencana itu ditolak oleh salah satu pihak, berarti rencana itu tidak realistis. Skenario terbaik adalah, apakah kedua belah pihak menerimanya atau menolaknya," kata al-Thani.
Terkait hal ini, Qatar menegaskan posisinya membersamai Palestina. "Posisi kami tetap sangat teguh, kami akan mendukung rencana apa pun yang bersedia diterima Palestina," ujar al-Thani.
AS memang belum mengungkap garis besar rencana perdamaiannya untuk Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina. Proposal ini marak disebut sebagai "the Deal of the Century." Namun, kabar telah beredar, dalam rencana perdamaian itu, AS tak mencantumkan tentang pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Gedung Putih justru berupaya "menjinakkan" tuntutan politik Palestina dengan solusi ekonomi. AS berencana mendorong arus investasi berskala besar ke Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hal itu rencananya akan dilakukan saat AS menghelat konferensi ekonomi bertajuk "Peace for Prosperity" di Bahrain pada 25 Juni mendatang.
Otoritas Palestina sendiri telah menyatakan tak akan megirim utusan ke konferensi tersebut. Pihaknya mengaku tak pernah diajak berunding dan berkonsultasi oleh AS atau negara-negara Timur Tengah lainnya perihal adanya perhelatan acara itu.
Palestina hanya menegaskan posisinya, yakni menolak setiap proposal yang tak mengakomodasi sikap politiknya. Di antara butir-butir tuntutan itu adalah pembentukan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Tuntutan itu dipandang tak dapat ditawar-tawar melalui solusi ekonomi bentukan AS.