REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadopsi resolusi baru, Selasa (11/6) waktu setempat. Resolusi tersebut bertujuan menangani orang hilang dalam konflik bersenjata.
Dilansir Anadolu Agency, resolusi tersebut merupakan resolusi pertama yang diadopsi DK PBB. Resolusi ini dilakukan oleh Kuwait yang saat ini tengah menjadi presiden DK untuk Juni. Sementara Indonesia telah mengetuai DK PBB pada Mei lalu.
Resolusi ini dirancang untuk mencegah warga sipil hilang selama konflik, melindungi mereka yang hilang, dan menciptakan mekanisme untuk mencari dan mengidentifikasi orang hilang. Selain itu resolusi juga bertujuan menyampaikan informasi kepada anggota keluarga dari orang-orang yang hilang.
"Kesedihan dan ketidakpastian dapat membahayakan prospek untuk merekonstruksi jalinan sosial masyarakat yang terkena dampak konflik," kata Direktur operasi dan advokasi untuk Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) PBB, Reena Ghelani.
Resolusi disahkan dengan suara bulat di Dewan Keamanan. Namun, resolusi itu harus menghadapi ujian pertamanya dalam konflik Suriah, di mana ribuan orang dilaporkan hilang di tangan rezim Bashar al-Assad. Rezim tersebut telah melancarkan serangan baru di Suriah barat laut, tempat jutaan orang terancam.
Menurut PBB, lebih dari 160 warga sipil tewas, dan 270 ribu orang terlantar dalam serangan dan pengeboman udara antara rezim dan pasukan oposisi.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mencatat terdapat lebihd ari 10 ribu kasus orang hilang dalam konflik Suriah. "Keluarga layak mendapat informasi dari rezim tentang nasib orang-orang yang mereka cintai," kata pejabat AS yang bertindak sebagai wakil untuk PBB, Jonathan Cohen.
Meskipun demikian, resolusi tersebut tidak spesifik untuk negara mana pun, tetapi konflik Suriah telah menggarisbawahi kesenjangan yang ada dalam peraturan PBB sebelumnya tentang melindungi orang hilang.
Gheelani dari OCHA juga mencatat kasus penghilangan paksa di Myanmar, Sudan Selatan, dan Yaman. "Hukum melarang penghilangan paksa," katanya.
Presiden ICRC Peter Maurer mengatakan, bahwa beberapa konsekuensi perang yang paling mengerikan adalah yang tidak bisa terlihat. "Ini mungkin paling jelas terlihat ketika menyangkut masalah kritis orang hilang," ujarnya.