REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengajukan langkah administratif agar tim asistensi bentukan Menkopolhukam Wiranto segera dibubarkan. Bila tak segera dibubarkan, YLBHI menyatakan akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"YLBH memberi kuasa pada LBH Jakarta untuk melakukan langkah administratif, bila langkah ini tidak diterima, maka kami akan mengajukan gugatan PTUN," kata Direkrur YLBHI Asfinawati di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Ahad (16/6).
YLBHl-LBH Jakarta menilai, tim yang dibentuk melalui Kepmenkopolhukukam No 38 Tahun 2019 itu inkonstitusional. Tim itu memiliki wewenang untuk mengkaji ucapan tokoh dan tindakan yang melanggar hukum pascapemilihan umum serentak tahun 2019.
Kajian untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum yang melanggar HAM serta mengancam demokrasi. "Keberadaan tim tersebut semestinya segera dievaluasi dan dibatalkan oleh Pemerintah," kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana.
Wewenang tim asistensi untuk menberi kajian pada penegak hukum pun dinilai tak relevan. Sebab, selama ini, penegak hukum sudah memiliki wewenang untuk memanggil saksi ahli dalam menyelidiki suatu tindak pidana.
Dengan demikian, YLBHI menilai keberadaan tim tersebut tak perlu. "Mengapa untuk waktu yang lain mereka tidak pakai back up tim asistensi ngapain sekarang mereka perlu back up seperti ini?" kata Asfinawati.
Bahkan, keberadaan tim tersebut dinilai memiliki motif politik. "Tim ini politis sendiri, dan pembentukannya ditargetkan untuk menyadsar tokoh politik tertentu," kata Arif.
YLBHI-LBH Jakarta menyayangkan, meski telah dikecam keras dan dikritik oleh masyarakat sipil maupun lembaga negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia, Wiranto tetap membentuk dan menjalankan tim asistensi tersebut.
YLBHI-LBH Jakarta akan mengambil Iangkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara jika upaya administratif yang ditempuh untuk membatalkan keberadaan tim asistensi tersebut, tidak dihiraukan. "Ini negara hukum, bukan negaranya Wiranto," kata Arif Maulana.
YLBHI menyatakan akan menyampaikan surat permohonan secara administratif ke Kemenkopolhukam pada Senin(17/6). Bila surat itu tak ditanggapi, maka YLBHI segera menyiapkan gugatan PTUN.
Di lain pihak, salah satu anggota tim asistensi, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menyatakan, tim tersebut dibentuk untuk memastikan langkah aparat keamanan tetap berada di jalur hukum yang benar saat melakukan penindakan. "Tim ini nanti membantu Menko Polhukam untuk menyampaikan pendapat hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi sekarang," ujar Romli saat dihubungi.
Romli menjelaskan, pendapat-pendapat hukum itu diperlukan agar aparat keamanan tetap bertindak sesuai koridor hukum yang berlaku. Hukum, kata dia, harus berada di depan kewenangan yang dimiliki oleh aparat, terutama aparat kepolisian.
"Walaupun polisi punya kewenangan, kekuasaan memanggil orang, nangkep orang, tapi itu harus dilakukan dengan cara-cara hukum. Jadi hukum di depan, kekuasan di belakang. Jangan dibalik-balikm" kata dia.
Ia menerangkan, setiap tindakan dalam rangka menjaga ketertiban dan keamanan yang dilakukan oleh kepolisian harus dilandasi hukum yang benar. Untuk memastikan langkah yang diambil benar secara hukum, maka diperlukan pendapat para ahli hukum.
"Karena polisi juga masih melihat apakah ini, khawatir kan melanggar hukum apa ngga memanggil orang, memanggil tokoh, jadi perlu pendapat para ahli," katanya.