Selasa 18 Jun 2019 07:51 WIB

Apa Pesantren Pertama di Indonesia dan Berapa Jumlahnya?

Pesantren pertama di Indonesia disebut muncul pada abad ke

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.
Foto: EPA/Fully Handoyo
[ilustrasi] Sekolompok santri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia (2013) menjelaskan adanya perdebatan soal pesantren pertama di Nusantara. Mengutip uraian Fokkens, dapat dikatakan bahwa cikal bakal pesantren merupakan tanah perdikan di Glagah Arum yang diberikan penguasa Majapahit kepada Raden Fatah. 

Alasannya, Fokkens beranggapan tanah perdikan merupakan awal kesinambungan pesantren (Islam) dengan lembaga yang beroperasi pada zaman Hindu-Buddha. Pendapat ini cenderung sejalan dengan keterangan yang diungkap dalam Serat Cabolek, salah satu legasi kesusastraan Jawa Klasik dari abad ke-16. 

Baca Juga

Sementara itu, peneliti Martin van Bruinessen menilai pesantren muncul pertama kali pada awal abad ke-18, yaitu Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur, tepatnya pada 1742.

Sepanjang sejarah, pada umumnya pesantren memiliki lima ciri-ciri, yakni adanya pondok atau asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan dan pendidikan, pengajaran kitab-kitab klasik, para santri, dan kiai.

Dua hal yang tersebut akhir merupakan corak khas yang membedakan pesantren dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Jumlah santri di suatu pesantren biasanya menjadi tolak ukur lembaga tersebut. Para santri membangun solidaritas serta rasa kekeluargaan yang erat satu sama lain. Selain itu, mereka juga memandang penuh hormat dan cinta sekaligus taat kepada kiai.

Keberadaan pesantren umumnya mencerminkan penghormatan masyarakat terhadap seorang dai atau bahkan sufi yang kharismatik. Dadan Muttaqien dalam “Sistem Pendidikan Pondok Pesantren” (1999) menjelaskan, kebanyakan berdirinya suatu pesantren diawali dengan seorang ulama yang menyebarkan agama. 

Sosok ini memiliki beberapa pengikut yang bertindak sebagai cantrik. Mereka dengan setia mendampingi ulama yang dimaksud ke manapun pergi, biasanya bertempat tinggal di pinggiran desa atau hutan-hutan kecil sekitar kawasan penduduk. Para cantrik semata-mata bertujuan menuntut ilmu-ilmu agama serta menyerap pelbagai nasihat, hikmah, dan keterampilan. Sumber-sumber menyebut, dari istilah bahasa Jawa itulah kata santri berasal.

Pada masa penjajahan, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling dekat dengan rakyat jelata. Para santri dan kiai begitu menghayati bagaimana orang-orang yang tinggal di perdesaan hidup di bawah sistem penindasan kolonialisme. 

photo
Santri pondok pesantren (Ilustrasi)

Belanda menganggap sepele pendidikan yang diselenggarakan pesantren-pesantren karena dianggap tidak menyentuh kemajuan dunia. Sebaliknya, pemerintah kolonial menganggap pendidikan di sekolah-sekolah formal dengan kurikulum yang berkiblat pada modernisme Eropa sebagai lebih utama dan lebih bermanfaat.

Data pemerintah Hindia Belanda menunjukkan total 1.853 unit institusi pendidikan tradisional Islam beroperasi di Pulau Jawa pada 1831. Dalam periode yang sama, jumlah muridnya diperkirakan sebanyak 16.556 orang. Angka tersebut masih bisa diragukan kesahihannya lantaran aparat pencacah mencampurkan antara lembaga pendidikan dan pengajian biasa di masjid-masjid. 

Beberapa tahun kemudian, orientalis Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845–1927) meneliti adanya 14.929 unit lembaga pendidikan Islam tradisional di Hindia Belanda pada 1885. Sebanyak 300 di antaranya merupakan pesantren.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement