REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budaya Betawi menolak kian hari terus tergerus gelombang perubahan zaman dan berakhir menjadi sejarah atau hanya sebagai hikayat yang diceritakan pada masa depan. Sudah saatnya budaya asli Ibu Kota lahir kembali menunjukkan eksistensinya.
Tergerus 2 atau 3 dekade belakang bukan waktu yang singkat, banyak budaya Betawi yang terancam hilang, seperti rumah adat, pakaian, tarian, musik, permainan tradisional bahkan ikon Betawi sekalipun, ondel-ondel.
Hal itu tidak bisa dipungkiri, zaman menjadi tantangan besar bagi seluruh kearifan lokal. Dalam hal ini, budaya Betawi menjadi salah satu yang menerima dampak paling besar karena berada di pusat ibu kota negara, pintu masuk utama perubahan zaman serta budaya asing ke Tanah Air.
Sebelum era 80-an, masyarakat masih memakai adat budaya Betawi di berbagai aktivitasnya. Tarian, musik kesenian, ancak, maupun ondel-ondel menjadi bagian penting saat menggelar kegiatan sosial masyarakat.
Namun, dengan masuknya budaya luar dan berkembangnya zaman serta teknologi, membuat masyarakat mulai meninggalkan satu per satu kearifan lokal.
Beberapa ritual budaya yang lekat selama ini dalam kegiatan perhelatan perlahan hilang dengan alasan pemilihan model yang simpel dan mengikuti budaya kekinian dianggap lebih menarik.
Perkembangan zaman, tepatnya teknologi juga menggerus permainan tradisional anak, penampilan tarian, musik, dan teater budaya.
Masyarakat lebih memilih mencari hiburan lewat televisi atau gawai daripada memainkan permainan tradisional atau menyaksikan penampilan seni budaya.
Reborn Budaya Betawi
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Beky Mardani di Jakarta, Senin (17-6-2019) berharap semua pihak tidak membiarkan budaya ini punah. Kini, menjadi masanya reborn budaya Betawi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 sebagai payung hukum dan kebijakan untuk melestarikan budaya Betawi yang menjadi modal awal melahirkan kembali budaya Betawi.
Perda ini mengatur tentang tumbuh kembangnya pelestarian budaya Betawi, serta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Jakarta terhadap pelerstariannya.
Selanjutnya, Pemprov DKI juga menerbitkan Peraturan Gubernur 2018 tentang Kurikulum Muatan Lokal yang menjadi wadah agar generasi penerus makin dekat dan mencintai budaya Betawi.
Berbagai upaya lain seperti mempromosikan kebudayaan Betawi lewat festival sepanjang tahun juga ikut dilakukan. Pelestarian budaya, menurut Beky Mardani, memang tidak gampang. Namun, dengan adanya aturan yang mendukung akan menjadi lebih mudah.
Melahirkan kembali, kemudian mempertahankan eksistensi budaya, tidak bisa dilakukan jika harus melawan arus perubahan zaman.
Sebaliknya, mengakui dan mengikuti perubahan dengan bijak merupakan langkah terbaik, asimilasi dengan zaman akan membuat budaya kembali mudah diterima kembali oleh masyarakat.
Kebudayaan itu dinamis. Oleh karena itu, harus mengkuti arus tetapi tetap tidak membuat keasliannya hilang.
Ada beberapa asimilasi budaya dengan perkembangan zaman yang dilakukan sebagai upaya melahirkan kembali budaya Betawi, seperti pemandafaatan teknologi informasi.
Tidak bisa pungkiri, contohnya anak-anak lebih suka gawai dari pada permainan tradisional, dan orang tua tidak bisa memaksa mereka harus memainkan permainan tradisional.
Generasi saat ini atau yang biasa disebut generasi milenial dan Z, lanjut dia, lebih cenderung memiliki ketertarikan teknologi visual.
Lihat saat ini mereka lebih suka lihat Instagram atau YouTube. Oleh karena itu, harus menyesuaikannya membuat konten budaya menarik untuk ditampilkan di sana sehingga membuat mereka tetap mengenal dan tertarik terhadap budaya.
Selain asimilasi, juga dibutuhkan akulturasi atau kolaborasi untuk mengembalikan eksistensi budaya. Misalnya, memadupadankan kesenian Betawi dengan seni budaya yang digandrungi masyarakat pada zaman ini.
Mencoba menggabungkan gambang kromo dengan musik jazz, misalnya. Begitu pula, musik-musik lain yang sekarang lebih disukai.
Menurut musisi gambus Betawi, Achmad Supandi, penggabungan ataupun kolaborasi membuat masyarakat lebih mudah menerima kembali seni budaya.
Kalau hanya menampilkan satu jenis, misalnya gambang kromo, segmennya terbatas. Akan tetapi, kalau kolabirasi masyarakat atau penikmat seni yang disasar lebih banyak.
Achmad mulai menjadi penggiat seni gambus sejak 1993. Kecintaannya dengan Betawi membuatnya memadukan gambus dengan seni marawis.
Pada tahun 2000, dia mulai mengolaborasikan gambus dengan musik gambang kromo. Tidak hanya itu identitas Betawi lainnya tidak lupa pula dia perkenalkan di setiap penampilan, seperti pakaian adat dan ikon Betawi, ondel-ondel.
Menolak Punah
Zaman ini, banyak masyarakat lebih memilih mengikuti budaya kebarat-baratan karena dianggap lebih simpel dan modern. Hal itu membuat kearifan lokal makin terpinggirkan jika dibiarkan warisan budaya ini mendekati kepunahan.
Namun, Jayadi--penggiat ondel-ondel di Kampung Ondel-ondel, Keramat Pulo, Senen--menolak punah. Biarkan yang lain memilih yang modern, dia tetap akan membuat ondel-ondel. "Ini bentuk kecintaan saya," kata Jayadi.
Pria kelahiran 1966 ini awalnya berprofesi sebagai pembuat dan penggiat seni ancak-ancak dan ondel-ondel di setiap prosesi hajatan masyarakat.
Akan tetapi, memasuki tahun 1990-an, masyarakat mulai meninggalkan ritual budaya ini. Ondel-ondel pun terancam punah.
Jayadi tidak ingin ondel-ondel benar-benar hilang, bahkan generasi muda di kemudian hari tidak tahu lagi tentang ondel-ondel.
Memasuki tahun 2000-an, dia membuat ondel-ondel dalam bentuk aksesori mengingat minta masyarakat terhadap ondel-ondel yang besar berkurang.
Aksesori yang dibuat Jayadi berupa miniatur ondel-ondel dengan ukuran 75 sentimeter dan 35 cm. Jika miniatur dibuat lebih besar dari ukuran tersebut, khawatirnya tidak bisa menjangkau banyak wilayah.
Kalau bobotnya berat dan membutuhkan kotak besar, membuat biaya pengiriman akan lebih mahal, apalagi sampai ke luar negeri, penyuka ondel-ondel enggan memilikinya kalau biaya pengiriman mahal. Dengan cara sederhananya, Jayadi berharap ondel-ondel tidak hilang ditelan perkembangan zaman terus dikenal masyarakat luas.