REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tindak pidana terorisme yang melibatkan anak di Indonesia menjadi fenomena memprihatinkan yang mengancam tumbuh kembang anak, baik dari sisi kehidupan masyarakat, kepribadian, pemahaman agama, serta nasionalisme.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Hasan, mengatakan anak banyak terlibat dalam tindak pidana terorisme karena dibujuk, dirayu, didoktrin, dan diajarkan untuk melakukan tindakan radikal serta terorisme oleh orang terdekat, seperti tetangga, guru, teman bermain, bahkan mirisnya oleh oknum orang tua.
Dia menjelaskan, dua faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan tindak pidana terorisme, yaitu faktor internal, seperti minimnya pemahaman anak tentang agama, wawasan kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak. Sedangkan untuk faktor eksternal berupa keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, pendidikan.
Hasan Mengatakan, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sebanyak 500 orang tua yang berada dalam lembaga permasyarakatan karena terlibat tindak pidana terorisme, 1.800 anak dari pelaku terorisme tersebut mengalami stigmatisasi dan pelabelan, berupa pengucilan, diskriminasi, dilarang bergaul, bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah.
“Umumnya mereka mengalami trauma sehingga perlu mendapat pembinaan, pendampingan dan pemulihan,” ujar Hasan seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Rabu (26/6) malam.
Padahal, dia melanjutkan, tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa karena menimbulkan ancaman, ketakutan, ketidaknyamanan, kekhawatiran, kehancuran, serta menelan banyak korban. Pelaku kejahatan ini bukan hanya perorangan melainkan juga kelompok berjejaring terorganisir baik di dalam maupun di luar negeri.
Menindaklanjuti masalah ini, Kementerian PPPA bersama pemerintah Provinsi Maluku Utara menggelar Pertemuan Forum Koordinasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Pertemuan ini bertujuan untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam menangani upaya perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme.
Menurut dia, masalah perlindungan anak adalah otonomi daerah yang pelaksanaannya dilakukan bersama antara Kementerian PPPA dan Pemerintah Daerah. Kementerian PPPA juga mengharapkan dengan adanya kebijakan tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Terorisme ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara dapat mengoordinasikan dengan baik bersama organisasi perangkat daerah (OPD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Hasan menambahkan, dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan ada upaya pencegahan yang dilakukan OPD, kanwil-kanwil serta LSM dan lembaga pemerhati anak, agar anak tidak terpapar radikalisme dan tindak pidana terorisme. Pencegahan tersebut berupa sosialisasi, advokasi, penyuluhan, penyampaian informasi melalui materi komunikasi informasi edukasi (KIE) dan lain lain, dengan sasaran keluarga atau orang tua sebagai unsur utama dalam memberikan pembinaan, pengawasan, memberikan nilai budi pekerti yang baik terhadap anak. Selain itu juga ditujukan kepada masyarakat, forum anak atau organisasi masyarakat yang ada di Maluku Utara.