REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Morgan Ortagus, menyampaikan keprihatinannya atas penutupan layanan data seluler di negara bagian Rakhine karena telah membatasi komunikasi yang berbasis internet. Ia menyatakan, AS mendesak Myanmar untuk segera memulihkannya tanpa ditunda-tunda.
"Dimulainya kembali layanan tersebut akan memfasilitasi transparansi dan pertanggungjawaban atas apa yang diklaim pemerintah, yakni tindakan penegakan hukum yang bertujuan mencegah pecahnya kekerasan lebih lanjut di daerah yang terdampak," kata Ortagus dilansir dari laman Aljazeera, Ahad (30/6).
Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Yanghee Lee, sebelumnya mengungkapkan, Militer Myanmar melakukan operasi pembersihan terhadap pemberontak Angkatan Darat Arakan di beberapa daerah. Lee khawatir militer melakukan pelanggaran HAM berat terhadap warga sipil di bawah kedok penutupan akses komunikasi berbasis internet.
Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) menuturkan, kelompok-kelompok kemanusiaan telah melaporkan bahwa penutupan layanan komunikasi berbasis internet itu membuat banyak orang kesulitan melakukan pekerjaan. Sebab, komunikasi dengan data internet ini penting untuk menunjang aktivitas mereka. "(Aplikasi percakapan) WhatsApp adalah kunci bagi organisasi nirlaba internasional yang beroperasi di Rakhine, dan bekerja tanpa itu memunculkan kesulitan tambahan," katanya.
Kementerian Transportasi dan Komunikasi Myanmar pada 21 Juni lalu memerintahkan operator telepon seluler untuk mematikan semua data internet di setidaknya delapan kota di negara bagian Rakhine dan satu kota di negara bagian tetangga, Chin.
Kebijakan tersebut diputuskan ketika Militer Myanmar bergerak melawan Tentara Arakan, sebuah kelompok bersenjata yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar bagi etnis Buddha Rakhine di kawasan itu.