Senin 01 Jul 2019 07:58 WIB

Kelanjutan Perang Dagang Usai Pertemuan Trump dan Xi Jinping

Usai pertemuan Trump secara diplomatis mengatakan tidak ada permusuhan terhadap China

Perang dagang AS dengan Cina
Foto: republika
Perang dagang AS dengan Cina

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Donald Trump bersama Presiden China Xi Jinping telah melakukan pertemuan bilateral di sela-sela KTT G20 yang berlangsung di Osaka, Jepang, Sabtu (29/6). Pertemuan itu sangat ditunggu oleh pelaku pasar keuangan karena selama berbulan-bulan situasi ekonomi global dilanda ketidakpastian akibat keduanya terlibat perseteruan dagang.

Pengenaan tarif bea masuk yang dikenakan bagi masing-masing produk asal AS dan China menjadi penyebab 'perang dingin' antara dua negara adidaya tersebut. Perseteruan yang terjadi ini tidak hanya menyebabkan kelesuan perdagangan global, namun juga menimbulkan masalah kepada sistem keuangan dunia secara keseluruhan.

Baca Juga

Meski demikian, hasil dari pertemuan Trump-Xinping ini malah menimbulkan tanda tanya baru, karena tidak ada hasil positif yang benar-benar nyata dapat direspon pelaku pasar global.

Usai pertemuan tersebut, Trump secara diplomatis mengatakan tidak ada permusuhan terhadap China dan pertemuan telah berjalan dengan baik. Ia juga mengungkapkan pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan perdagangan kedua negara yang adil dan bersejarah.

Hanya satu hasil yang pasti yaitu Trump tidak akan memberlakukan tarif bea masuk baru terhadap barang-barang asal China yang masuk ke pasar AS. Hal serupa juga dilakukan oleh Jinping yang mengatakan ingin memajukan hubungan China dan AS dengan meningkatkan koordinasi, kerja sama dan stabilitas.

Meski terdapat perubahan besar dari hubungan bilateral kedua negara, Jinping menambahkan kerja sama dan dialog akan lebih memberikan manfaat daripada gesekan.

Dalam pertemuan itu, Jinping bahkan sempat bernostalgia mengenai hubungan kedua negara yang terjalin dengan baik sejak interaksi di Kejuaraan Tenis Meja Dunia ke 31 pada 1971.

Dalam pernyataan resmi usai mengikuti KTT G20, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan risiko terhadap ekonomi global saat ini adalah perdagangan.

Untuk itu, meski pemimpin AS dan China sudah mengadakan pertemuan, namun apabila isu terkait perang tarif belum diselesaikan, maka justru dapat menimbulkan ketidakpastian baru bagi masa depan.

"Mengurangi hambatan perdagangan adalah prioritas, baik hambatan baru atau lama, tarif dan lain sebagainya, serta mengatasi berbagai sumber yang mendasari ketegangan dan distorsi perdagangan," kata Lagarde.

Sebelumnya, IMF memproyeksikan perang dagang yang berlarut-larut dapat menurunkan 0,5 persen PDB global atau senilai 455 miliar dolar AS pada 2020.

Sinyal baru

Sementara itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan global hanya sebesar 2,6 persen pada 2019 dan berpotensi mengalami revisi turun pada semester II. Proyeksi ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi global yang tercatat sebesar 4,0 persen pada 2017 dan 3,6 persen pada 2018.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan semua pihak yang berkepentingan dalam Pertemuan G20 telah setuju untuk mengurangi tensi perang dagang. Meski demikian, tidak ada kesepakatan yang mengikat untuk mengurangi ketegangan dalam sistem perdagangan internasional yang saat ini lebih mengedepankan cara-cara unilateral.

Padahal, ia mengingatkan, bahwa eskalasi dari tingginya tensi perang dagang terutama yang diakibatkan oleh AS dan China dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi global.

Sri Mulyani mengutip proyeksi IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global dapat terkoreksi 0,5 persen pada 2020 akibat ketegangan dagang. "0,5 persen dari PDB dunia itu lebih besar dari satu ekonomi seperti Afrika Selatan, jadi ini risikonya sangat besar," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.

Dengan kondisi tersebut, Sri Mulyani menyetujui apabila negara-negara yang "bertikai" seperti AS dan China mengusulkan adanya kebijakan perdagangan yang adil maupun "win-win solution".

Selain itu, reformasi dalam tubuh WTO juga sangat mendesak agar masing-masing negara kembali melaksanakan kegiatan perdagangan secara multilateral.

WTO sedang menjadi sorotan karena ketidakmampuan organisasi ini dalam mengatasi sengketa dagang akibat kosongnya anggota appellate body.

Penunjukan anggota appellate body masih menghadapi masalah karena adanya veto dari AS sehingga berpotensi memperlambat penyelesaian konflik dagang.

Komunike bersama dari Pemimpin G20 juga hanya menegaskan perlunya kebijakan perdagangan yang bebas, adil, tanpa diskriminasi, transparan, dapat diprediksi, dan stabil, serta membuka kesempatan pasar.

Pertemuan G20 ikut menyepakati mengenai perlunya negara-negara anggota dalam mempelopori pertumbuhan ekonomi global yang kuat.

Tidak disebutkan secara jelas upaya mengatasi tindakan proteksionisme yang selama ini menjadi faktor utama penekan pertumbuhan ekonomi global.

Penguatan industri

Dalam menghadapi persoalan global yang sepertinya belum reda dalam waktu dekat, upaya yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan memperkuat ketahanan internal. Salah satunya dengan upaya keras untuk mengatasi persoalan lesunya ekspor dan impor yang makin melemah dan membebani neraca perdagangan.

Kebijakan yang sudah dilakukan diantaranya membuat sistem layanan terintegrasi secara elektronik (OSS) agar kinerja investasi terutama berbasis ekspor dan subtitusi impor makin tumbuh positif.

Dengan adanya perbaikan kemudahan dalam berusaha, Indonesia bisa memanfaatkan larinya investasi dari China ke negara-negara berkembang, seperti yang sudah dilakukan Vietnam.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai Indonesia perlu mengundang investasi asing berbasis manufaktur untuk meningkatkan nilai ekspor. Pemerintah, menurut dia, perlu memaksimalkan beberapa kawasan ekonomi khusus yang sudah dibangun dan ditujukan untuk kegiatan ekspor.

Dalam jangka panjang, investasi dalam industri manufaktur ini akan bermanfaat untuk memperbaiki kinerja ekspor yang selama ini masih berbasis pada sumber daya alam. Menurut Andry, jika masih bergantung kepada industri ekstraktif, maka Indonesia kesulitan dalam mencari pasar baru, apabila permintaan melemah dan harga komoditas sedang menurun.

Cara konvensional lain yang bisa dilakukan untuk memperkuat ekspor adalah melakukan diversifikasi pasar maupun produk unggulan dengan ratifikasi perjanjian dagang. Saat ini, Indonesia masih terhindar dari gejolak perang dagang, karena kinerja ekonomi masih mampu tumbuh sebesar lima persen yang didukung oleh konsumsi rumah tangga.

Meski demikian, pemerintah tidak boleh berleha-leha dan terus menerus mengandalkan konsumsi domestik yang selalu menjadi penyumbang terbesar PDB nasional.

Pertemuan dua pemimpin negara adidaya di Osaka memperlihatkan adanya "angin segar", namun dunia masih harus waspada atas kondisi ekonomi di masa depan.

Cepat atau lambat, Indonesia bisa terdampak lebih dalam, apabila abai terhadap fenomena melambatnya kinerja perdagangan global.

Reformasi struktural harus terus dilakukan dan sinergi antara pemangku kepentingan terkait dengan dunia usaha harus diperkuat agar ekonomi Indonesia lebih berdaya tahan.

Nilai plus lainnya adalah berakhirnya pemilu yang memberikan keyakinan kepada investor bahwa pemimpin terpilih akan bekerja lebih keras dalam lima tahun kedepan dibandingkan lima tahun sebelumnya.

Momentum ini harus bisa dimanfaatkan dengan optimal, agar kegiatan ekonomi bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak dan kerja keras tidak berakhir dengan sia-sia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement