“Doa apa yang hendak kalian titipkan padaku sewaktu di depan ka’bah nanti?” Haji Mashurat mengajukan pertanyaan, disertai anggukan kepala berulang-ulang. Jam dinding berputar di atas kepalanya. Haji Mashurat mengedarkan pandangan. Membiarkan orang-orang berbisik serupa suara lalat. Bulan muncul dari balik dekapan awan dan merayap di permukaan langit. Mereka datang ke rumah Haji Mashurat guna mendoakan keselamatan laki-laki gemuk, berkumis tebal itu berangkat haji untuk kelima kalinya.
“Doakan yang baik-baik saja. Semoga kelak kami juga bisa naik haji,” terpaksa Rahnawi menjawab.
Ia tak ingin memancing emosi Haji Mashurat karena tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan. Haji Mashurat melilitkan sorban putih di kepalanya. Kerut-kerut di dahinya mulai tampak membentuk garis yang terombang-ambing. Jari jemarinya dipenuhi cincin akik berbagai macam warna.
Angin dari balik perbukitan membawa hawa dingin. Menghunusnya ke dalam pori-pori kulit. Haji Mashurat membenarkan posisi. Pada saat itulah, dengan binar-binar kebanggaan di matanya, Haji Mashurat kembali akan mengurai kisah-kisahnya sewaktu di Mekkah.
Ia mengedarkan pandangan. Menandai penghargaan atas kehadiran tamu undangan. Berdehem-dehem guna menghilangkan sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Ia atur alur napasnya.
“Dulu…” Haji Mashurat diam sejenak. Menunduk. Dua bola matanya menyimpan gerimis tipis sehalus sutra. Kurang lebih satu menit ia melanjutkan,“Saya tidak menyangka bisa mencium hajar aswad bahkan sampai berulang-ulang. Dan berkali-kali pula menginjakkan kaki di tanah suci. Saya merasa nikmat di sana. Itulah mengapa saya tak ingin berhenti pergi ke sana.”
“Saya bermimpi bertemu Rasulullah. Kata orang, tidak akan datang Nabi ke dalam mimpi seseorang kecuali ia sudah bersih hati dan memang dipilih Gusti Allah.”
Mata Haji Mashurat berkaca-kaca. Ia mengusap gerimis yang meleleh di kedua pipi tembemnya dengan sorban. Orang-orang terharu. Terkagum-kagum. Sampai-sampai ada yang ikut meneteskan air mata. Ada pula yang berbisik-bisik dan mencibir.
“Membual! Mana mungkin Rasulullah hadir dalam mimpimu!” Rahnawi melenguh dalam hati. Menyimpan cibiran di dalam dadanya.
Melintas dalam ingatan Rahnawi, tiga tahun lalu ucapan Haji Mashurat melubangi dadanya. Jantung Rahnawi hampir copot dari tangkainya kala itu. Namun ia tetap bersikap wajar kepada Haji Mashurat. Tak memelihara dendam.