Seusai shalat Duha, Rika tak mau melangkahkan kakinya dari beranda masjid itu. Terlebih, saat sepasang matanya menatap seekor kupu-kupu bersayap kuning, bergaris merah halus, dengan taburan titik oval halus mirip tumpahan beras.
Kupu-kupu itu hinggap di salah satu pilar yang ada di beranda. Tepat pada aksen yang berupa lipatan hijau, seperti gelang berantai di bagian atas. Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya perlahan meski ia hanya diam.
Rika urung membuka tali mukenanya, ia malah semakin membetulkan posisi duduknya dengan bersandar ke tembok, seperti sengaja untuk berlama-lama menikmati tarian kupu-kupu itu. Dan entah apa yang kemudian ada dalam pikiran Rika saat itu, tiba-tiba ia meneteskan air mata, hingga membutir ke datar mukenanya. Ia melirik ke bagian dalam masjid, jarum merah dalam perut jam bundar masih lurus di angka sepuluh.
“Waktu Zhuhur masih lama,” gumamnya sambil kembali menyandarkan kepala ke tembok.
Si penjaga masjid yang berkumis tebal baru saja memulai tugasnya, menyapu lantai sambil sesekali melipat beberapa sajadah yang berserak di beranda. Hal yang paling tidak nyaman bagi Rika adalah ketika si penjaga masjid itu datang dan di masjid itu tak ada orang lain lagi selain mereka berdua. Ia khawatir terjadi fitnah.
Rika berdiri dan melangkah ke arah kupu-kupu itu. Si penjaga masjid terus menyapu hingga di bagian yang dekat kepada Rika. Sesekali, lelaki itu melirik seperti hendak mengatakan atau bertanya sesuatu. Rika merasakan itu sejak kedatangannya ke masjid itu empat hari yang lalu.
Sejak saat itu, si penjaga masjid selalu melirik Rika, seperti menaruh rasa curiga atau entahlah, yang pasti Rika merasa tak nyaman dengan tatapan lelaki itu. Ada kalanya, ia ingin bercakap dengan lelaki itu untuk menjelaskan kedatangannya ke masjid itu bahwa dirinya ingin shalat, mengaji, dan beriktikaf supaya lelaki itu tak menaruh rasa curiga. Tapi, keinginan untuk bercakap itu selalu kandas, bahkan kadang berbalik menjadi rasa setengah benci kepada lelaki berkumis tebal itu.
Rika menjinjitkan kaki, lalu menjulurkan tangannya ke arah kupu-kupu itu hingga bagian jarinya bersentuhan dengan bagian belakang sayap yang mengepak lirih. Ia melakukannya tak lebih sekadar iseng agar tak tampak sedang risi kepada lelaki itu.
Secara tak terduga, kupu-kupu itu ternyata menggeser tubuhnya perlahan, lalu bertengger di telapak tangan Rika. Rika tersenyum, menarik tangannya ke bawah, setara wajah, hingga kupu-kupu itu kian berkepak-kepak di depan matanya, seperti menari khusus untuk Rika. Bibir Rika tersenyum, tapi sepasang matanya merembes butiran dingin. Ia terisak. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Matanya lekat terpaku pada sayap kupu-kupu itu.
Di antara sepasang sayap kupu-kupu yang berwarna kuning, bergaris merah halus, dengan taburan titik oval halus mirip tumpahan beras itu, mata Rika seperti menemukan sebuah pemandangan, berupa gang sunyi gedung bekas pertokoan yang diambung bau bir dan alkohol, diminati belasan kucing, disukai para pemabuk.
Di depan salah satu gedung itu, ia melihat sosok dirinya di masa lalu, sedang duduk di balai-balai, dengan rambut tergerai tanpa tali pengikat, wajah berpupur kosmetik, bibirnya dipoles warna lipstik, tentu dengan pakaian seminim dan seketat mungkin demi memperlihatkan keindahan tubuhnya kepada siapa pun yang datang. Lalu, bertransaksi sebelum akhirnya masuk ke kamar itu dengan seorang lelaki dan menguncinya dari dalam.
Ia pun teringat, peristiwa terburuk pada suatu subuh yang didera hujan, seorang lelaki bejat tak mau membayar tarif, padahal ia sudah menemaninya semalaman. Sudah begitu, ia menampar Rika hingga berdarah dan jatuh pingsan. Tak cukup dengan itu, si lelaki bejat membawa kabur perhiasan, uang, dan ponsel Rika.
“Maaf, Mbak. Sebaiknya Mbak pindah ke sana saja. Di sini mau saya bersihkan!” seketika suara penjaga masjid itu membuyarkan lamunan Rika.
“Oh, iya, Mas!” suaranya gugup, tangan kirinya menyeka air mata yang melumasi seluruh datar pipinya. Dan kupu-kupu di tangannya, seketika mengepakkan sayap dengan cepat, terbang melesat ke atas, tatap Rika tetap membuntuti arah terbang kupu-kupu itu yang tak seperti kupu-kupu pada umumnya, ia terus terbang ke atas, hingga lenyap seolah masuk ke rahim langit.
“Mohon maaf, Mas! Sejak tiga hari yang lalu saya selalu numpang di masjid ini,” bibir Rika akhirnya bisa mengucapkan kalimat yang telah lama terperam.
“Tidak usah minta maaf, Mbak. Masjid ini rumah Allah. Justru saya sangat bangga kepada orang-orang yang selalu ada di masjid ini. Seorang wanita ada di masjid sangatlah keren. Coba bayangkan, betapa hinanya jika wanita ada di tempat pelacuran,” lelaki itu menoleh kepada Rika, sejenak henti menyapu, tangkai sapunya ia peluk di dadanya.
Rika terkejut dengan perkataan lelaki yang ada di depannya. Serasa lelaki itu sengaja menyinggung Rika. Kata-katanya seperti melempar dirinya pada masa lalu yang hitam. Tapi, kemudian ia lekas menutupi keadaan dirinya dengan seulas senyum yang kaku. Lelaki itu pun membalas dengan sebentuk senyum, lalu lanjut menyapu. Rika mundur beberapa langkah, air matanya kembali menetes.