Ahad 14 Jul 2019 16:37 WIB

Industri Masih Bergantung pada Garam Impor

Kebutuhan garam secara nasional berkisar 3,7 juta ton.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani memanen garam di areal tambak garam rakyat Desa Kedungmutih, Wedung, Demak, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019).
Foto: Antara/Aji Styawan
Petani memanen garam di areal tambak garam rakyat Desa Kedungmutih, Wedung, Demak, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketergantungan industri terhadap garam impor masih besar. Berdasarkan perhitungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin)  kebutuhan garam secara nasional berkisar 3,7 juta ton. Dari jumlah tersebut, 2,7 juta tonnya merupakan garam yang dipasok untuk industri.

Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Fridy Juwono mengatakan, sektor industri belum sepenuhnya bisa terlepas dari pasokan garam impor. Sebab, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara garam lokal dengan garam impor jika dilihat dari kandungan garam NaCl-nya.

Baca Juga

“Ya maka, boleh dibilang, ketergantungan industri terhadap garam impor belum bisa dihilangkan secara menyeluruh,” kata Fridy saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/7).

Dia menyebut, terdapat beberapa sektor industri yang diprioritaskan sebab sangat bergantung terhadap garam impor. Sektor industri tersebut antara lain farmasi, kosmetik, pengeboran minyak, dan juga sektor industri aneka pangan. Sebab, kata dia, industri aneka pangan membutuhkan tingkat impurities yg sangat kecil sehingga hal itu menurut dia agak sulit dipenuhi dari pasokan garam lokal.

Sebagai catatan, garam rakyat yang kadar NaCl-nya dan impuritiesnya yang mendekati garam industri adalah garam dengan kualitas level 1 atau biasa disebut K1. Sedangkan sebagaimana diketahui, harga garam rakyat dikabarkan anjlok hingga menyentuh level Rp 400 per kilogram (kg). Harga garam yang anjlok saat ini merupakan garam yang berada di level K2 dan K3, yaitu yang NaCl-nya berkadar di bawah standar yang telah ditentukan industri.

Menurut Fridy, berdasarkan perhitungannya, kebutuan garam industri sebesar 80 persen masih dipasok impor. Sedangkan dari jumlah 80 persen tersebut, industri aneka pangan hanya membutuhkan sekitar 20 persen pasokan garam impornya. “Nah, kalau garam-garam lokal itu kan masih ada kandungannya yang tidak diharapkan oleh industri. Artinya tidak bisa dipakai ke industri kan,” kata dia.

Kendati demikian, Fridy menjelaskan, pemerintah terus mendorong industri untuk menggunakan garam lokal sambil menunggu kesiapan kandungan garam milik petani lokal. Berdasarkan sepengetahuannya, PT Garam sudah mulai mengarah pada upaya penyerapan garam rakyat dengan berbagai upaya pendekatan. Salah satunya melakukan pendampingan serta bimbingan agar petani garam dapat menyesuaikan produksinya dengan kebutuhan industri.

Terkait dengan rencana pemeritah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang salah satunya merupakan garam, Fridy enggan menanggapi. Sebagai catatan, pemerintah mengusulkan kembali garam sebagai bahan pangan pokok guna menjaga harga garam petani di taraf stabil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement