REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Nabi Muhammad SAW, ilmu falak belum mengalami perkembangan yang signifikan. Karena pada saat itu umat Islam disibukkan dengan upaya-upaya menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia.
Sehingga aktifitas untuk mengkaji tentang astronomi sangat kurang sekali. Jika pun ada, itu hanyalah sebatas pengetahuan- pengetahuan langsung yang diberikan Allah SWT kepada Nabi SAW, dan belum ada kajian ilmiahnya yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
Masa keemasan Setelah Islam menyebar sampai di luar Makkah dan Madinah, mulailah para sahabat mengkaji khazanah ilmu falak. Namun, sebagaimana dijelaskan Dr Mu hammad Bashil Al- Thoiy dalam bukunya yang bertajuk Al-Falak wa al-Taqwim, kajian tentang ilmu falak secara mendalam baru dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Khalid bin Yazid bin Muawiyah.
Khalifah Khalid dikenal sebagai pemimpin yang cinta akan ilmu pengetahuan. Karenanya semasa ia memerintah, terjadi perubahanperubahan mendasar, terutama pada perkembangan keilmuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan (sains).
Hal ini terbukti dengan banyaknya penerjemahan buku-buku yang berkenaan dengan astronomi, kedokteran, fisika, dan disiplin ilmu yang lainnya. Akan tetapi kajian terhadap ilmu falak mengalami perkembangan pesat di masa kekhalifahan Abbasiyah.
Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur (712-775 M), menempatkan kajian ilmu falak setelah ilmu tauhid, fikih, dan kedokteran. Semasa berkuasa, ia memerintahkan Muhammad al- Fazari dan Umar bin Farhan at- Thabari untuk menerjemahkan berbagai buku tentang ilmu falak.
Kemudian al-Mansur juga memerintahkan kepada Ibrahim bin Yahya an-Naqqas untuk menerjemah kan karya Ptolemeus yang mengulas tentang sistem perbintangan. Dari sini kemudian mulai bermunculan para pakar Islam yang menggeluti bidang astronomi.
Pada masa Khalifah al-Mansur ini dana negara yang dikeluarkannya untuk membiayai pengembang an astronomi tidaklah sedikit. Sehingga tidak mengherankan jika hasil-hasil yang dicapai sangatlah memuaskan. Faktor ini pula yang mendorong kajian ilmu falak tetap berlanjut serta mengalami fase kemajuan di masa-masa selanjutnya.
Kajian tentang astronomi Islam mencapai masa kejayaan dan keemasan di masa Khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya al- Ma’mun. Pada masa pemerintahan al-Rasyid dan al-Ma’mun, Islam mencapai puncak prestasi dalam bidang peradaban.
Saat berkuasa, antara tahun 813 hingga 833 M, Khalifah al-Ma’mun memerintahkan penerjemahan berbagai buku tentang astronomi yang berbahasa Persia, India, dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Di masa al- Ma’mun ini juga muncul para ahli astronomi yang terkenal, seperti Habasyi al-Hasib al-Marwazi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Kindi.
Selanjutnya di Abad seterusnya pengembangan ilmu falak di tubuh Islam masih tetap berlanjut. Astronomi bukan hanya berkembang di Asia Barat, Eropa Selatan, dan Afrika Utara yang berada dalam wilayah kekuasaan Muslim di Abad Pertengahan, tetapi juga di Asia Tengah dan Asia Timur. Astronomastronom yang terkenal di wilayah ini adalah al-Kharaki, al-Qazwini, dan Zakaria bin Muhammad bin Mahmud Abu Yahya (1200-1282).
Zaman kegemilangan astronomi di tanah Islam ini berakhir dalam kurun abad ke-12. Buku-buku hasil karya ilmuwan Muslim sedikit demi sedikit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, terutamanya di Toledo, Spanyol. Hasil terjemahan tersebut kemudian disebarluaskan di seluruh kawasan benua Eropa. Melalui terjemahan tersebutlah tokoh-tokoh intelektual Eropa, di penghujung zaman pertengahan, mengkaji semula teori Ptolemeus dan mempelajari perkembangan astronomi hasil sumbangan dunia Islam.