REPUBLIKA.CO.ID,DHAKA -- Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan situasi di Negara Bagian Rakhine tak kondusif untuk repatriasi pengungsi Rohingya. Hal itu dia sampaikan saat bertemu Menteri Luar Negeri Bangladesh Shahidul Haque pada Selasa (23/7).
Dalam pertemuan itu, Burgener menyampaikan tentang hasil kunjungannya selama 10 hari ke Myanmar yang dimulai sejak 9 Juli lalu. Saat berada di negara tersebut, Burgener bertemu dengan para menteri, pejabat pemerintah, perwakilan masyarakat sipil, dan berbagai badan PBB.
Dilaporkan laman media Bangladesh, Prothom Alo, para pejabat Bangladesh yang turut mendampingi Haque mengatakan bahwa Burgener pun mengunjungi Rakhine. Selama berada di sana, Burgener mengaku tak tenang dan gerakannya benar-benar dibatasi.
Dia hanya dapat mengunjungi tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Pemerintah Myanmar. Menurut para pejabat Bangladesh, dalam pertemuan itu, Haque kemudian bertanya apakah keadaan di sana tidak kondusif untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya. Burgener setuju bahwa situasinya tak kondusif bagi para Rohingya untuk kembali.
Dalam pertemuan itu, Haque dan Burgener pun sempat terlibat perdebatan. Hal itu bermula ketika Haque menanyakan mengapa Burgener tak mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar. “Kecuali Anda berbicara dengan Rohingya, Anda tidak akan tahu apakah mereka ingin kembali atau tidak. Anda tidak akan tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan,” ujarnya.
Burgener tak menanggapi pertanyaan tersebut. Dia hanya berkata, “Percayalah, saya ingin membantu Bangladesh.”
Namun Haque menanggapi pernyataan Burgener secara dingin. “Apakah kami meminta bantuan Anda? Bantu para Rohingya, itu sudah cukup,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional (ICC) James Stewart telah menyelesaikan kunjungannya selama enam hari ke Bangladesh pada Senin (22/7). Sebelum mengakhiri kunjungannya, Stewart memimpin delegasi ICC mengunjungi kamp pengungsi Myanmar di Cox’s Bazar.
“Tim ICC tidak mengadakan pertemuan formal dengan kami. Mereka ingin tahu dari kami mengapa Rohingya menyeberang ke Bangladesh dalam jumlah besar,” kata Dil Mohammad, seorang tokoh di kamp pengungsi Rohingya, dikutip laman Radio Free Asia.
Mohammad adalah salah satu yang ditanya oleh delegasi ICC mengapa meninggalkan Myanmar dan berlindung di Bangladesh. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa penyiksaan, pembunuhan, dan penganiayaan memaksa kami menyeberangi perbatasan dan memasuki Bangladesh,” ujarnya.
Pengungsi Rohingya lainnya, Shahid Ullah, juga sempat diwawancara oleh tim ICC. Pertanyaan yang diajukan kepadanya sama seperti Mohammad. Ullah mengatakan bahwa dia meninggalkan Myanmar karena adanya kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer.
“Militer membunuh kami, memperkosa wanita kami, dan bahkan membunuh bayi yang baru lahir. Kami memberitahu mereka bahwa kami menginginkan keadilan,” ucap Ullah.
Tim ICC tiba di Bangladesh pada 16 Juli lalu. Mereka mengatakan kedatangannya ke negara itu bukanlah untuk mengumpulkan bukti tentang dugaan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar terhadap Rohingya. Jaksa ICC hendak menjelaskan proses peradilan kepada pihak pemerintah Bangladesh.
Bulan lalu, Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda telah meminta izin kepada hakim ICC untuk menyelidiki dugaan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar terhadap Rohingya. Hakim memutuskan bahwa meskipun Myanmar belum terdaftar sebagai negara pihak ICC, pengadilan masih memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap Rohingya. Sebab Bangladesh, negara yang menampung para pengungsi Rohingya, adalah anggota ICC.