REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Irisan laut antara Jepang, Rusia, dan semenanjung Korea menjadi titik ketegangan dan perselisihan pada pekan ini. Masing-masing negara mengambil tindakan untuk menunjukkan kekuatannya, mulai dari sengketa wilayah udara regional, penyitaan kapal penangkap ikan, hingga uji coba rudal oleh Korea Utara (Korut).
Irisan laut tersebut umumnya dikenal sebagai Laut Jepang. Namun, Korea Selatan (Korsel) berpendapat, irisan laut itu harus diganti dengan nama yang lebih netral, seperti Laut Timur. Perselisihan mengenai nama tersebut menunjukkan ada berbagai kepentingan yang saling bertentangan, dan menjadi ajang untuk mengadu kekuatan militer serta politik.
Pertemuan paling serius pada pekan ini terjadi pada Selasa (23/7) lalu, ketika pesawat tempur Rusia dan China melakukan patroli udara jarak jauh pertama di atas laut Asia Pasifik. Hal itu memicu Korsel melakukan tembakan peringatan dan serangkaian protes diplomatik lainnya.
Para analis mengatakan, patroli bersama tersebut merupakan tindakan pertama Cina dan Rusia untuk mengirim pesan bahwa kolaborasi keduanya akan membawa pengaruh signifikan di kawasan tersebut. Seorang profesor dari Far Eastern Federal University di Vladivostok, Artyom Lukin mengatakan, patroli bersama Rusia-Cina di salah satu daerah paling sensitif secara politik di Asia Timur Laut bukan merupakan sebuah kebetulan.
"Pesannya adalah, kemitraan strategis Rusia-Cina sekarang menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan secara militer di Asia Timur. Wilayah ini kemungkinana akan lebih sering melihat aksi militer bersama Rusia dan Cina," ujar Lukin, Kamis (25/7).
Cina menekankan pentingnya hubungan militer dengan Rusia. Hal itu tertuang dalam Defence White Paper 2019 yang dirilis pada Rabu (24/7) lalu.
"Hubungan militer antara China dan Rusia terus berkembang pada tingkat tinggi, memperkaya kemitraan strategis komprehensif China-Rusia untuk era baru," kata China dalam pernyataannya.
Patroli udara tersebut menyoroti klaim yang saling bertentangan atas zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ). Menurut Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, ADIZ merupakan area di mana negara-negara dapat secara sepihak menuntut agar pesawat asing mengambil langkah untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri.
ADIZ berbeda dari wilayah udara suatu negara, yang biasanya merupakan ruang di atas wilayahnya dan memanjang 12 mil laut dari garis pantai. Tidak ada hukum internasional yang mengatur ADIZ.
Rusia tidak mengakui zona identifikasi pertahanan udara Korsel, yang dikenal sebagai KADIZ. Sementara China mengatakan, patroli udara bersama Rusia tidak dilakukan di atas wilayah udara teritorial, sehingga semua negara bebas untuk menggunakannya.
Kementerian Pertahanan Korsel mengatakan, hingga saat ini terdapat 39 pesawat militer asing yang memasuki KADIZ tanpa mengidentifikasi diri mereka sendiri. Pesawat militer yang memasuki KADIZ sebagian besar berasal dari Cina dan Rusia.
Rusia mengatakan, pesawat militernya tidak pernah lebih dekat dari 25 kilomter dari pulau yang dikuasai oleh Korsel. Sementara, Jepang mengoperasikan jet tempur untuk mencegah masuknya pesawat Rusia dan China di wilayah ADIZ-nya.
Pada Rabu (24/7) lalu, Rusia menuding Korut secara ilegal telah menahan salah satu kapal penangkap ikan beserta awaknya di daerah penangkapan ikan. Kejadian tersebut membuat Rusia jengkel dan membekukan pembicaraan dengan Korut terkait kerja sama perikanan hingga masalah tersebut diselesaikan. Seorang spesialis hubungan Korea-Rusia di Sino-NK, Anthony Rinna mengatakan, perselisihan antara Rusia dan Korut tidak akan berpengaruh terhadap hubungan bilateral kedua negara.
"Kejadian ini bisa menjengkelkan bagi Rusia, namun tidak akan menjadi kemunduran bagi hubungan yang sudah berada di bawah tekanan besar karena berbagai masalah seperti sanksi," kata Rinna.