Jumat 26 Jul 2019 03:02 WIB

Komnas Perempuan: Unit PPA Seharusnya Dikuatkan Statusnya

Sejauh ini Unit PPA memang menjadi pendukung yang luar biasa bagi para korban.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Gita Amanda
Ekspresi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun (tengah) didampingi kerabat saat pengesahan amnesti untuk dirinya pada rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Ekspresi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun (tengah) didampingi kerabat saat pengesahan amnesti untuk dirinya pada rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai bahwa Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian perlu ditingkatkan statusnya. Hal ini perlu dilakukan agar unit tersebut bisa memberikan keputusan bukan hanya pendampingan.

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherawati mengatakan sejauh ini Unit PPA memang menjadi pendukung yang luar biasa bagi para korban. Unit PPA juga berisi penyidik yang memiliki kualifikasi khusus untuk memeriksa perempuan korban kekerasan.

Baca Juga

Sudut pandang yang digunakan Unit PPA juga dinilai sudah cukup baik dalam mendampingi korban. Namun, secara struktur belum kuat karena pengambil keputusan tidak sepenuhnya ada di unit tersebut.

"Sehingga bisa jadi Unit PPA ini sudah punya perspektif, sudah pro perempuan dan anak tapi dalam mengambil keputusan itu berubah," kata Sri dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Kamis (25/7).

Ia mencontohkan, pada kasus Baiq Nuril. Sebenarnya, dalam menangani kasus tersebut Unit PPA sudah membuat keputusan yang pro-perempuan. Namun, kata Sri, ketika dibawa ke rapat di atas hasilnya berubah.

"Berubah karena ada pelibatan pakar pidana yang perspektifnya belum clear. Belum jelas," kata Sri menegaskan.

Di dalam memeriksa sebuah kasus kekerasan terhadap perempuan, seorang pakar pidana harus memiliki analisis sosial dan analisis gender yang kuat. Oleh sebab itu, Sri berpendapat Unit PPA jangan hanya sebagai layanan tapi juga bagaimana mencapai pemulihan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement