Sabtu 27 Jul 2019 20:10 WIB

Mempertahankan Rumah Tangga

Islam menganjurkan agar umatnya senantiasa mempertahankan rumah tangga.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Agung Sasongko
Sepasang suami istri/ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Sepasang suami istri/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menikah merupakan ibadah, bahkan melakukannya berarti menyempurnakan separuh agama. Dalam sebuah hadis, Rasulullah juga bersabda, "Nikah itu adalah sunahku, barang siapa membenci sunahku, bukanlah bagian dari kami."

Maka, Islam menganjurkan agar umatnya senantiasa mempertahankan rumah tangga. "Jadikan rumah tangga itu media kita untuk mendapatkan pa hala sebanyak mungkin," ujar Ustaz Ishom Aini dalam Kajian Ilmiah di Masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta, belum lama ini.

Ia pun mengimbau kepada para pasangan suami-istri supaya tidak menceritakan masalah rumah tangga ke sembarang orang. Pasalnya, belum tentu semua orang dapat memberikan solusi tepat. "Curhat harus menjadi solusi. Cari orang-orang yang betul-betul bisa me lihat masalah secara objektif," kata Ustaz Ishom.

Dia menambahkan, jamaah perlu mengingat kebaikan pasangan masingmasing sehingga hati bisa memaafkan kesalahannya. Jangan malah mengingat keburukan pasangan terus-menerus ka re na akan menimbulkan kesakitan, lalu mudah mengucapkan kata cerai atau pisah.

Namun, terkadang meski sudah berusaha sekuat mungkin mempertahan kan rumah tangga, perpisahan tidak dapat lagi dihindari. Ustaz Ishom menyebutkan, terurainya ikatan pernikahan bisa dengan berbagai cara, di antaranya talak, khuluk, dan fasakh.

Ia menjelaskan, talak adalah hak suami. Seorang suami berhak menalak istrinya sampai tiga kali atau talak tiga jika pernikahan sudah tidak mungkin dilanjutkan. Sedangkan, khuluk merupakan hak istri. Di sini, istri dapat me minta suami menalaknya lalu istri membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar yang diterima dari suami. Hal ini dilakukan bila sikap suami sudah me langgar ketentuan pernikahan.

"Kadang istri tidak tahu kalau dia punyak hak khuluq sehingga diam saja ketika dipermainkan oleh suaminya, pa dahal istri punya hak ini. Ada pula wanita yang terus mempertahankan pernikah annya meski hak pernikahannya tidak terpenuhi, namun semua dilakukan ka rena anak. Perlu diingat, anak tetap ke wa jiban suami walau tinggal dengan siapa pun si anak," ujar Ustaz Ishom.

Selanjutnya fasakh, kata dia, bukanlah hak suami maupun istri, melainkan hak Allah. Fasakh dapat disebut pula putusnya ikatan pernikahan secara otomatis. "Ketika kedua pasangan atau salah satu di antaranya melanggar, misalkan mengingkari kewajiban shalat. Disuruh shalat enggak mau, didatangkan guru enggak mau, dan mengatakan itu yang shalat pada miskin semua, padahal memang tidak ada kaitan antara shalat dengan kekayaan dan kemiskinan. Shalat mah shalat, soal kaya/miskin Allah yang tanggung," ujarnya.

Status pernikahan juga bisa menjadi fasakh jika suami atau istri melakukan hal yang dilarang Allah, seperti kufur dan syirik. "Misalnya satu di antaranya murtad, maka otomatis hubungan pernikahan batal. Dengan begitu, bila keduanya melakukan hubungan badan, berarti zina," ujar dia.

Walau di depan orang lain masih tampak seperti pasangan harmonis, bila salah satunya ada yang murtad, Islam memandang keduanya bukan lagi suami-istri. Status fasakh dapat terjadi pula bila ternyata suatu pasangan masih sedarah serta sekandung. Ustaz Ishom menga takan, mungkin saat menikah mereka belum tahu kalau ternyata sedarah maka tidak dianggap zina karena belum tahu. Tetapi, ketika ditelusuri hingga saling tahu, maka itu sudah tergolong fasakh dan otomatis harus berpisah.

"Subhanallah, Islam begitu detail mengatur kehidupan rumah tangga. Jadi, untuk memastikan suami atau istri kita masih pasangan kita atau tidak, tanya diri kita dengan melihat masa lalu kita. Jangan sampai salah ambil keputusan," ujar Ustaz Ishom.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement