REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa sebenarnya Mariyah al-Qibtiyah? Dia adalah budak yang dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW. Dia satu-satunya istri Rasulullah yang berasal dari Mesir.
Kedatangannya dari Mesir ke Madinah merupakan hadiah dari penguasa Mesir Muqauqis. Saat itu Rasulullah mengirim surat melalui Hatib bin Balta’ah menyerukan Raja Mesir tersebut untuk memeluk Islam.
Raja Muqauqis menerima kedatangan Hatib dengan baik. Namun, dia menolak ajakan Rasulullah memeluk Islam. Ketika Hatib kembali ke Yatsrib, Muqauqis memberi banyak hadiah untuk Rasulullah. Ada keledai dan kuda putih, pakaian pilihan, serta kerajinan dari Mesir. Dia juga menyertakan tiga hamba sahaya, yakni Mariyah, dan saudara perempuannya Sirin serta Maburi.
Di tengah perjalanan, ketiga hamba sahaya itu terlihat sangat sedih. Mereka seakan tidak rela meninggalkan kampung halamannya, Mesir. Hatib menghibur dengan menceritakan tentang Rasulullah dan keindahan agama Allah, Islam. Lalu, dia mengajak Mariyah, Sirin, dan Maburi memeluk Islam. Ketiga budak asal Mesir itu pun menerima dengan ikhlas memeluk Islam.
Di Madinah, Rasulullah teläh menerima kabar tentang penolakan dari Muqauqis. Namun, beliau tidak menduga mendapat kiriman tiga budak. Nabi mengambil Mariyah sebagai budaknya, dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Sedangkan Maburi diberikan kepada Abu Hudzaifah al-‘Adawi.
Mariyah berbeda dengan hamba sahaya lainnya. Diriwayatkan dia dari kalangan Koptik yang memiliki kulit putih, cantik, dan ramah. Menurut Imam al-Baladziri, “Sebenarnya ibunda dari Mariyah adalah keturunan bangsa Romawi. Mariyah mewarisi kecantikan ibunya sehingga memiliki kulit yang putih, berparas cantik, berpengetahuan luas, dan berambut ikal.’’
Masa kecil dan remajanya dihabiskan di Mesir sehingga sedikit sekali mengetahui riwayat Mariyah. Hanya diketahui nama lengkapnya Mariyah binti Syama’un. Lahir di Hafn, wilayah yang berada di dataran tinggi Mesir. Ayahnya berasal dari Suku Qibti, sedangkan ibunya penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, Mariyah bersama saudara perempuannya, Sirin dipekerjakan di Istana Raja Muqauqis.
Rasulullah membebaskan, lalu menikahi Mariyah al-Qibtiyah. Walaupun bekas budaknya, Nabi Muhammad SAW tidak membedakan Mariyah dengan istri-istrinya yang lain. Dia menempatkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid. Mariyah pun menjadi ibu dari orang-orang beriman (ummul mukminin).
Setahun di Madinah, Allah menghendaki perempuan yang sopan dan ramah ini hamil. Rasulullah SAW sangat bahagia mendengar kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Mariyah adalah istri Rasulullah setelah Khadijah yang bisa memberi Rasulullah anak.
Bulan Dzulhijjah tahun kedelapan Hijrah, Mariyah melahirkan bayi laki-laki. Kelahiran anaknya menjadikan Mariyah sebagai budak yang merdeka sepenuhnya. Kehadiran bayi dari Mariyah ini mendapat sambutan gembira dari masyarakat Madinah. Pada hari ketujuh, Rasulullah mengaqiqah kan anak laki-lakinya dengan menyembelih dua ekor domba besar.
Lalu, mencukur rambut dan bersedekah kepada orang miskin dengan harta senilai perak sesuai dengan timbangan rambut si bayi yang telah dicukur. Selanjutnya, Nabi Muhammad mengubur potongan rambut anaknya dan menamai bayinya dengan nama yang indah.
Rasulullah SAW memberi nama anak laki-lakinya yakni Ibrahim bin Muhammad. Harapannya kelak Ibrahim kecil mendapat berkah sebagai mana nama bapak para nabi, Nabi Ibrahim AS. Ibrahim kecil disusui oleh seorang istri tukang pandai besi bernama Abu Saif yang tinggal di perbukitan Madinah.
Ketika berusia 19 bulan, Ibrahim sakit. Kondisi ini membuat Rasulullah SAW dan Mariyah sedih. Mariyah ditemani saudara perempuannya Sirin menunggui Ibrahim yang kondisinya semakin parah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa disadari Rasulullah yang ditemani Abdurrahman bin Auf menangis bercucuran air mata. Kondisi nya semakin parah dan atas kehendak-Nya Ibrahim kecil meninggal dunia. Rasulullah SAW kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang hak, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim .… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Begitulah ungkapan kesedihan Rasulullah SAW saat menghadapi kepergian putra yang dicintainya. Walaupun perasaannya sangat sedih, beliau tidak meratapi, apalagi berteriak mengucapkan kata-kata yang berlebihan. “Menangis adalah bukti kasih sayang, sedangkan teriakan itu dari setan.” Hal ini sebagai contoh bagi umatnya ketika menghadapi musibah, walaupun demikian berat tidak berlebihan.
Rasulullah mengurus sendiri jenazah Ibrahim dan menshalati dengan takbir empat kali. Ibrahim dimakamkan di Baqi bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari. Orang lalu menghubungkan kematian Ibrahim dengan gerhana. Namun Rasulullah meluruskan, “Gerhana bulan dan matahari tidak terjadi karena kematian atau hidupya seseorang.”
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri. Setelah kematian anaknya, Ibrahim, dan Rasulullah, beliau menghabiskan hidupnya dengan beribadah. Mariyah wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, yaitu bulan Muharram tahun ke-46 H. Saat itu masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Khalifah Umar yang menshalati jenazah istri Rasulullah tersebut, kemudian dimakamkan di Baqi. n / berbagai sumber,