REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih menunda perpanjangan izin untuk organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam. Pemenuhan peraturan perizinan disebut harus dipenuhi organisasi itu sebelum perpanjangan izin diberikan.
"Kita tak bisa diskriminasi. Kalau FPI memenuhi 10 syarat, ya boleh. Tidak memenuhi, ya tidak boleh. Kembali kepada aturannya, kalau dia memenuhi syarat, ya boleh," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/7).
Menurut dia, izin dapat diberikan selama FPI telah memenuhi persyaratan untuk perpanjangan izin. JK menegaskan, Indonesia sebagai negara demokrasi memberikan hak berkumpul seluas-luasnya kepada masyarakat, salah satunya melalui organisasi masyarakat (ormas). Meski demikian, JK mengingatkan adanya aturan hukum yang berlaku di Indonesia terhadap keberadaan ormas-ormas.
Sejauh ini perpanjangan perizinan FPI masih terkendala surat rekomendasi di Kementerian Agama (Kemenag). Kemenag menjelaskan, belum mengeluarkan surat rekomendasi untuk FPI karena tengah merampungkan peraturan untuk mengeluarkan surat rekomendasi terhadap ormas keagamaan. "Kami susunlah yang namanya peraturan menteri agama (PMA), yakni tata cara memperoleh rekomendasi," ujar Pelaksana tugas Biro Hukum Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama, Syafrizal Sofyan, saat dihubungi, Kamis (1/8).
Syafrizal menjelaskan, PMA bertujuan untuk mengatur Direktorat Jenderal (Ditjen) Kemenag yang berwenang untuk mengeluarkan surat rekomendasi. Sebab, Ditjen Kemenag bukan hanya menangani ormas Islam, melainkan juga agama lainnya.
Berdasarkan Permendagri Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan, Syafrizal menjelaskan, Kemendagri meminta kementerian Agama mengeluarkan surat rekomendasi untuk ormas berbasis agama. "Namun, PMA belum kita terbitkan karena selama ini belum dimintain oleh Kemendagri. Baru-baru ini aja dimintain," ujarnya.
Sejauh ini, Syafrizal mengatakan, perancangan hukum (legal drafting) sudah selsai dibuat oleh Biro Hukum Kemenag. PMA akan diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) agar mendapat legalitas secara hukum. "Dengan adanya itu, diharapkan ada landasan hukumnya untuk mengeluarkan rekomendasi itu," katanya.
Terkait pengajuan permintaan surat rekomendasi dari FPI, Syafrizal menjelaskan, telah menerima permohonan sebulan yang lalu. Waktu itu, kata Syafrizal, FPI belum melengkapi persyaratan administratif yang sesuai permendagri dengan melampirkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) yang telah ditandatangani anggota.
Kemenag kemudian mengembalikan berkas tersebut kepada FPI untuk dilengkapi. "Lalu, 11 Juli kemarin (FPI) berkirim (melengkapi) surat lagi ke kami untuk meminta rekomendasi," ujarnya.
Diketahui, izin FPI sebagai ormas berbasis keagamaan berakhir 20 Juni 2019 sejak SKT diterbitkan 20 Juni 2014. FPI pun telah mengajukan perpanjangan izin keorganisasiannya ke Kemendagri.
Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Munarman menjelaskan ihwal perkembangan perpanjangan operasional organisasi atau surat keterangan terdaftar (SKT). Munarman menyatakan, kelengkapan berkas secara administrasif hanya menunggu surat rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemanag). "On progress. Semua kelengkapan administrasi kita penuhi, tinggal rekomendasi dari Kemenag," ujar Munarman saat dihubungi Republika, Selasa (30/7).
Sementara, tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdala, mengatakan bahwa FPI berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sehingga tidak semestinya dilarang. "Saya kalau terhadap HTI itu masih bisa memahami (mengapa dilarang), bahkan saya mendukung pelarangan HTI karena mereka secara frontal mengampanyekan satu bentuk kenegaraan yang berbeda. Jadi, kalau HTI saya kecualikan," kata dia, Kamis (1/8).
Ulil menambahkan, meski banyak orang yang memang tidak setuju dengan kerangka perjuangan FPI, sebetulnya mereka harus tetap diberikan ruang untuk berorganisasi. "Siapa pun mereka, termasuk orang-orang yang kita tidak setujui pandangannya," ujarnya.
Persoalannya, lanjut Ulil, jika ada ormas yang memang melakukan pelanggaran hukum, harus ditindak secara hukum. "Jadi, menurut saya, kalau bisa, kita meminimalisasi pelarangan organisasi. Idealnya itu enggak perlu ada pelarangan organisasi," katanya.
Karena itu, jika banyak pihak yang tidak setuju dengan wacana atau pandangan keagamaan FPI, Ulil mengungkapkan, kritiklah. "Kalau mereka melawan hukum, tindak. Menurut saya, demokrasi di Indonesia itu berharga sekali. Ini harus tetap kita pegang, harus tetap kita rawat," ujarnya.
Cara merawat demokrasi, papar dia, yaitu dengan memberikan ruang kepada pihak yang banyak mendapat tentangan oleh masyarakat. n fauziah mursid/umar mukhtar/nugroho habibi, ed: fitriyan zamzami