Ahad 11 Aug 2019 17:40 WIB

Dijual Rp 300 per Kilo, Garam Masih Sulit Diserap Pasar

Petambak menduga garam impor di pasar menyulitkan penyerapan garam

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani Garam (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani Garam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Asosiasi Petambak Garam Nusantara (Aspegnu) meminta pemerintah bertindak tegas menyusul kesulitan yang sedang dialami para petambak garam lokal saat ini. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aspegnu Achmad Solehan mengatakan harga garam lokal saat ini sangat rendah yakni hanya sebesar Rp 300 per kilogram (kg).

Nilai ini atau jauh dibandingkan sebelum terjadinya gejolak harga, di mana harga garam bisa mencapai Rp 1.000 per kg.

Baca Juga

"Kita dalam posisi bingung, selain harga rendah, juga pasarnya yang rendah. Susah beli meski harga Rp 300 per kg. Tidak terserap," ujar Achmad saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (11/8).

Achmad menduga, tidak maksimalnya serapan garam lokal lantaran begitu banyak garam yang beredar, terutama garam impor. Achmad menjelaskan, para petambak garam lokal sejatinya masih mampu melakukan produksi garam lokal saat musim kemarau seperti ini mencapai 2,5 juta ton sampai 3 juta ton garam per tahun.

"Untuk bulan ini, kalau semua (produksi) dikumpulkan bisa sampai 250 ribu ton garam," ucap Achmad.

Namun, kata Achmad, fenomena terjadi di lapangan tampaknya akan mendorong penurunan produksi garam lokal. Sebab, para petambak garam, cenderung malas melakukan produksi lantaran rendahnya harga jual dan rendahnya serapan.

"Produksi berpotensi untuk turun lantaran tidak lahan berproduksi karena malas untuk mengerjakan. Para petambak tidak antusias. Sudah harganya rendah, ditambah tidak mampu terserap, itu persoalan yang paling pokok. Serapan sangat rendah sekali," kata Achmad.

Achmad menyebutkan, hasil produksi petambak sejak awal tahun hingga saat ini saja belum terserap dengan perkiraan sebanyak 1 juta ton garam. Achmad membantah bahwa kualitas dan kadar garam lokal tidak memenuhi persyaratan bagi sektor industri. 

Achmad menilai anggapan itu merupakan wacana lama yang kerap dikatakan sebagai legitimasi pihak-pihak tertentu untuk melakukan impor garam. Achmad menjelaskan, pasar utama lokal adalah industri pengolah dan industri-industri  yang langsung memanfaatkan garam. Selain industri pengolah, garam lokal juga mampu diterima di pelbagai sektor industri lain.

"Pernah terjadi pada dua tahun lalu saat setop impor, ketika itu harga tinggi sekali. Banyak industri yang menyerap garam lokal, karena kepepet, garam lokal habis dan jadi rebutan," ucap Achmad. 

Achmad mengatakan, Aspegnu bukan menolak impor secara total. Namun meminta pemerintah melakukan impor secara proporsional dan sesuai kebutuhan. Faktanya, kata Achmad, masih banyak stok garam lokal yang belum terserap secara maksimal.

"Harapan kita, pemerintah fokus pada kebijakan untuk petambak garam sebagai penyangga agar industri pengolah lebih stabil dan menjamin serapannya. Jangan sedikit-sedikit impor, siapa yang harus menertibkan ini, kan pemerintah," pinta Achmad.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement