REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkembangan Islam di Banten disertai pembangunan kerajaan dengan empat komponen utama. Pertama, istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal rajaraja. Kedua, masjid agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, alun-alun sebagai pusat kegiatan rakyat. Dan keempat, pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Masjid Agung Banten didirikan pada 1566 M ketika Maulana Hasanuddin menjabat sebagai Sultan Banten pertama pada 1552-1570. Inilah warisan kesultanan Banten yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Sebagaimana masjid-masjid lain di Nusantara, Masjid Agung Banten berdenah segi empat dengan rancang bangun yang unik. Arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Cina, dan Eropa.
Ini dikarenakan pembangunannya melibatkan tiga arsitek dari negeri yang berbeda. Raden Sepat merupakan arsitek utama berasal dari Majapahit yang juga menukangi Masjid Cirebon; Tjek Ban Tjut arsitek asal Cina; dan Hendrik Lucaz Cardeel asal Belanda. Atas jasa-jasa mereka menegakkan simbol kebesaran Islam itu, Tjek Ban Tjut dianugerahi gelar bangsawan dari kesultanan dengan nama Pangeran Adiguna.
Sedangkan, Hendrik Lucaz Cardeel yang kemudian diketahui memeluk Islam mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna. Bentuk arsitektur lokal karya Raden Sepat dapat dilihat dari empat tiang penyangga (saka guru) di bagian dalam bangunan masjid. Di ruangan ini terdapat mimbar kuno berukir indah yang menegaskan kuatnya nuansa lokal. Setidaknya, ada dua kisah berbeda seputar keberadaan mimbar ini.
Cerita pertama mengatakan bahwa ia merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jon jang Serang pada 23 Syawal 1323 Hijri yah (1903 M) sebagaimana tertulis de ngan huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Pen dapat kedua memperkirakan, mim bar itu adalah buah karya Tjek Ban Tjut. Tjek Ban Tjut adalah arsitek pembantu Raden Sepat.
Dialah yang konon membuat atap masjid begitu mirip dengan atap pagoda. Atap yang melingkar berbentuk bujur sangkar itu bertingkat lima, yang menyimbolkan rukun Islam. Dua atap paling atas ken tal dengan arsitektur Cina. Semakin rendah, atapnya semakin lebar, menaungi serambi di sisi utara dan selatan, di mana bersemayam jasad para ulama dan anggota keluarga kesultanan terdahulu.
Adapun karya Hendrik Lucaz Cardeel berupa menara setinggi 24 meter yang terletak di sebelah timur masjid. Bentuknya segi delapan, pintu masuk melengkung pada bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat. Ini ada lah arsitektur khas Belanda. Karena itu, keberadaanya menjadi kurang serasi dengan bangunan masjid. Semula bangunan ini bukanlah menara azan, tetapi menara rambu dan pengintai un tuk pelabuhan Banten yang terkenal sibuk.
Ada yang berupaya memaknai bentuk bangunan menara dengan sudut pandang Islam. Segi delapan disinyalir hasil pembagian dari 24 dibagi 3. Dua puluh empat adalah simbol waktu, 24 jam. Sementara 3 adalah simbol dari ibadah, ma’isyah (sumber nafkah) dan istirohah (istirahat). Jadi, pesan yang ingin di sam paikan, agar umat Islam memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk ketiga hal tersebut, yang masing-masing memiliki alokasi waktu sebanyak 8 jam.
Karya Hendrik Lucaz Cardeel lainnya adalah Tiamah di sebelah selatan masjid. Yaitu, bangunan semacam pavi liun yang dahulu sering digunakan para ulama dan umara Banten untuk men diskusikan masalah-masalah keagamaan. Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan untuk mengatur sirkulasi cahaya dan udara.
Sekarang Tiamah digunakan untuk menyimpan bendabenda peninggalan Kesultanan Banten. Saat ini, Masjid Agung Banten masuk dalam wilayah Desa Banten Lama, seki tar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Keberada an nya menjadi tujuan wisata religius, seja rah, pendidikan, dan budaya. Pada hari-hari besar Islam, misalnya peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, ribuan peziarah dari dalam dan luar daerah me nyatu memperingati kelahiran Baginda Rasul.
Keberadaan makam ulama dan keluarga kesultanan serta museum menambah daya tarik masjid bagi masyarakat. Para peziarah yang datang tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga memperluas wawasan tentang sejarah perjalanan bangsa. Dengan demikian, masjid tidak semata sebagai tempat di mana hamba bermunajat kepada Tuhannya, tetapi juga sarana menginternalisasi nilai-nilai sejarah dan budaya.