Rabu 14 Aug 2019 06:57 WIB

Kabut Asap Membuat Ratusan Ribu Warga Terserang ISPA

Kabut asap membuat seseorang rentan menderita ISPA.

Ribuan umat muslim melaksanakan Sholat Idul Adha di halaman Masjid Raya Annur dengan kondisi kabut asap karhutla yang menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Minggu (11/8). Kabut asap dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang masih terjadi di Provinsi Riau membuat kota Pekanbaru dan beberapa kabupaten lainya diselimuti kabut asap khususnya pada pagi hari.
Foto: Ronny Muharman/Antara
Ribuan umat muslim melaksanakan Sholat Idul Adha di halaman Masjid Raya Annur dengan kondisi kabut asap karhutla yang menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Minggu (11/8). Kabut asap dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang masih terjadi di Provinsi Riau membuat kota Pekanbaru dan beberapa kabupaten lainya diselimuti kabut asap khususnya pada pagi hari.

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menyerang ratusan ribu warga di daerah terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Mereka menderita ISPA karena terpapar asap karhutla.

Di Sumatra Selatan (Sumsel), jumlah penderita ISPA mencapai 274.502 orang selama periode Januari–Juni 2019. Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesty Nuraini mengatakan, ISPA semakin rentan menyerang saat musim kemarau yang memicu karhutla di beberapa lokasi di Sumsel.

“Kami sudah mengirim imbauan kepada pemerintah daerah untuk menyiagakan fasilitas pelayanan kesehatan mengantisipasi terjadinya kabut asap menjelang puncak musim kemarau,” kata Lesty, Selasa (13/8).

Lesty mengatakan, jumlah penderita ISPA paling banyak berada di Kota Palembang. Sejak awal tahun, ada 80.162 orang yang terkena ISPA. Selanjutnya adalah Banyuasin dengan penderita mencapai 36.871 orang, Muara Enim sejumlah 35.405 orang, Musi Banyuasin 21.871 orang, dan Ogan Komering Ilir 13.292 orang.

Ia menjelaskan, warga di daerah-daerah tersebut sangat rawan terdampak kabut asap. Bahkan, kata dia, Palembang yang bukan menjadi sumber asap menjadi wilayah terparah terdampak asap seperti yang pernah terjadi pada 2015. "Arah angin dari sumber asap, yakni di OKI dan Ogan Ilir, membawa asap hingga ke Palembang,” ujar Lesty.

Lesty menjelaskan, ISPA bukan hanya disebabkan kabut asap. Virus yang menyerang sistem pernapasan pun bisa menyebabkan ISPA. Namun demikian, kata dia, kabut asap yang membawa partikel kebakaran itu membuat potensi penderita ISPA bertambah.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumsel mengklaim sudah melakukan langkah antisipasi dan penanggulangan. Seluruh dinkes kabupaten/kota diinstruksikan melakukan langkah-langkah penanggulangan, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), menggunakan masker apabila bepergian, serta memperbanyak minum air putih. Apabila terjadi peningkatan kasus penderita ISPA, kata dia, surveilans kesehatan langsung diturunkan untuk melakukan langkah-langkah pengendalian.

Penyakit ISPA juga menyerang warga di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru telah menginstruksikan seluruh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) untuk siaga melayani warga yang terserang penyakit akibat kabut asap.

Pekan lalu, tercatat sebanyak 1.136 warga Pekanbaru terserang ISPA yang diduga akibat terpapar kabut asap. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pekanbaru Muhammad Amin mengatakan, seluruh puskesmas telah diinstruksikan untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat yang terkena dampak kabut asap.

"Kami meminta agar penderita ISPA betul-betul tertangani dengan baik," ujarnya. Ia mengatakan, sebagian besar warga yang terkena ISPA merupakan penduduk usia produktif yang banyak beraktivitas di luar ruangan.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, kabut asap membuat seseorang rentan menderita ISPA. Oleh karena itu, Nila berharap pemerintah daerah segera mengatasi karhutla.

"Karhutla berdampak pada kesehatan, termasuk ISPA yang menyerang anak-anak kecil hingga orang tua yang menderita asma akan kesulitan bernapas," kata Nila. Untuk membantu pemerintah daerah, Kemenkes telah mengirimkan bantuan masker dan pelayanan kesehatan.

photo
Umat Islam melaksanakan Salat Idul Adha di tepian Sungai Kapuas di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu (11/8). Umat Muslim di Pontianak melaksanakan salat Idul Adha dalam kondisi diselimuti kabut asap pekat yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan.

Kematian dini

Peneliti Harvard University dan Columbia University, Amerika Serikat, dalam artikel "Jurnal Fires, Smoke Exposure and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration" melakukan kajian model lahan gambut. Mereka melakukan kajian dengan skenario business as usual (BAU) dari land use and land cover (LULC) atau tata guna lahan dan tutupan lahan. Dari kajian tersebut, para peneliti menemukan, sistem pengelolaan hutan dan gambut yang tidak mengalami perbaikan dapat menyebabkan puluhan ribu jiwa mengalami kematian dini.

"Jika pengendalian karhutla tidak berjalan maksimal dalam jangka panjang, diprediksi terjadi kematian 36 ribu jiwa per tahun akibat penyakit ISPA selama 2020 hingga 2030," kata peneliti Harvard University Tianjia Liu dalam diskusi bertema "Ongkos Kesehatan dari Bencana Kebakaran Hutan dan Gambut" di Jakarta, Selasa, (13/8).

Ia menambahkan, dari 36 ribu jiwa yang terancam keselamatannya tersebut, sebanyak 92 persennya berasal dari Indonesia. Sisanya, 7 persen di Malaysia dan 1 persen di Singapura.

Penelitian tersebut mengambil peristiwa kebakaran hutan hebat yang terjadi di Indonesia pada 2015. Ia menyebutkan, potensi kerugian material mencapai 16 miliar dolar AS di luar kerugian kesehatan.

Peneliti juga mengambil sampel kebakaran hutan dari 2005 hingga 2009. Sepanjang lima tahun tersebut, luas kebakaran hutan dan lahan mencapai 18 juta hektare di Sumatra dan Kalimantan. Dari jumlah itu, kebakaran yang di lahan gambut hanya sembilan persen. Walau jumlahnya kecil, kebakaran di lahan gambut menyumbang emisi yang lebih besar. Jumlahnya lebih dari separuh atau 51 persen dari total emisi sepanjang periode tersebut.

Dia mengatakan, restorasi lahan gambut bisa mengurangi populasi yang terpapar asap hingga 67 persen. “Ancaman kematian dini ini bisa dihindari dengan strategi pengelolaan lahan yang komprehensif, seperti restorasi gambut,” katanya.

Deputi Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Wardhana mengatakan, karhutla pada 2015 terjadi hampir selama lima bulan. Selama itu pula ada sebanyak 500 ribu orang menderita ISPA dan lebih dari 60 juta jiwa terkena polusi asap. Akibatnya, biaya pengobatan langsung mencapai Rp 1,9 triliun. “Lalu, ada juga biaya jangka panjang yang belum bisa dihitung,” ujarnya. n rr laeny sulistyawati/antara ed: satria kartika yudha

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement