REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Sutradara film Gundala, Joko Anwar mengungkapkan cerita awal mula tembusnya Gundala di Toronto International Film Festival (TIFF) 2019. TIFF merupakan salah satu dari lima festival film terbesar di dunia, setelah Venice Film Festival, Cannes Film Festival, Berlin International Film Festival, dan Sundance Film Festival.
Sejujurnya sewaktu menggarap Gundala, kata Joko, ia ingin membuat film ini untuk masyarakat Indonesia. Pria yang lahir di Medan Sumatra Utara ini tidak bermaksud mengikutsertakan Gundala di festival film.
Namun, programmer dari TIFF menonton trailer Gundala dan mereka senang sekali dengan itu. Orang-orang dari TIFF kemudian menanyakan apakah boleh mereka menonton Gundala.
Joko mempertimbangkan lebih dulu soal itu. Tetapi pada akhirnya, ia memberikan izin orang-orang TIFF untuk menonton Gundala.
"Mereka suka ternyata dan mereka mengundang kita untuk ditayangkan di Toronto," ujar Joko dalam acara peluncuran Jagat Sinema Bumilangit Jilid 1 di Atrium Plaza Senayan, Jakarta, Ahad (18/8).
Selain itu, Joko mengatakan Gundala adalah karya orang Indonesia. Hanya saja ada beberapa teknis yang dikerjakan di Amerika Serikat (AS).
Misalnya, desain kostum Gundala dibuat di Indonesia, namun penjahit adalah orang Los Angeles, California AS. Penjahitnya adalah orang yang biasa membuat kostum untuk superhero, seperti serial televisi Daredevil dan Watchmen.
"Karena kita belum bisa bikin kostum untuk film, sering adegan berantem cepat robek. Kalau mereka kan sudah biasa," katanya.
Gundala diangkat ke layar lebar berdasarkan pada cerita karakter pahlawan super Indonesia bernama serupa pada 1969. Komik Gundala dibuat oleh Harya Suraminata (Hasmi).
Film yang diproduksi oleh Screenplay Films, Legacy Pictures bersama pemilik hak cipta Gundala, Bumilangit Studios ini akan bercerita tentang Sancaka (Abimana Aryasatya) yang telah hidup di jalanan sejak orang tuanya meninggalkannya.
Menjalani kehidupan yang berat, Sancaka bertahan hidup dengan memikirkan keselamatannya sendiri. Ketika keadaan kota makin buruk dan ketidakadilan berkecamuk di seluruh negara, Sancaka harus memutuskan, apakah dia terus hidup menjaga dirinya sendiri atau bangkit menjadi pahlawan mereka yang tertindas.