REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Widyaiswara Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Bambang Sri Herwanto mengaku tidak melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK. Ia berlasan dirinya bukan berstatus penyelenggara negara.
"Bapak empat kali tidak menyampaikan LHKPN, ini bagaimana?" tanya anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK Diani Sadia Wati di gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa (27/8).
"Saya taat undang-undang yang mewajibkan penyelenggara negara melaporkan LHKPN. Saat saya menjadi penyelenggara negara tentu saya melaporkan tapi ketika tidak menjadi penyelenggara negara ya tidak ada kewajiban. Contoh dari 2016 saya menjadi direktur program sarjana di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) dan sekarang widyaiswara, jadi bukan penyelengara negara," jawab Bambang yang berpangkat brigadir jenderal polisi itu.
Bambang menyampaikan hal itu saat mengikuti uji publik seleksi capim KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019. Uji publik itu diikuti 20 capim sehingga per hari, pansel KPK melakukan wawancara terhadap tujuh orang capim yang dilakukan bergantian selama satu jam.
"Juga dijabarkan dalam peraturan Kapolri pegawai negeri yang wajib melapor LHKPN itu eselon 1, kasatker, penyidik, PPK (pejabat pembuat komitmen) dan bendahara. Saya ini eselon 2 jadi bukan penyelenggara negara, tapi karena saya tidak ingin kegaduhan maka saya juga melaporkan LHKPN, yang jelas itu bukan diwajibkan untuk 2019 jadi UU sudah jelas mana yang wajib dan tidak," ungkap Bambang.
Dari laman acch.kpk.go.id/pengumuman-lhkpn/, Bambang tercatat terakhir melaporkan LHKPN pada 25 Desember 2014 sebagai Kapolda Sumbar. Nilai harta yang dilaporkan adalah Rp 5,087 miliar.
"Kalau ada perpindahan jabatan nggak lapor?" tanya Diani.
"Saya pindah ke direktur program sarjana PTIK jadi tidak wajib melaporkan," jawab Bambang.
Bambang juga setuju KPK bersifat lembaga ad hoc. "Saya setuju (ad hoc) karena saya membaca nuansa yang dibangun ketika mendirikan KPK itu adalah karena penanganan tindak pidana korupsi secara konvensional oleh aparat penegak hukum itu kurang optimal," ungkap Bambang.