Rabu 28 Aug 2019 09:55 WIB

Reaksi Masyarakat Soal Pemindahan Ibu Kota ke Kaltim

Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara jadi ibu kota baru.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/NurPhoto/Pradita Utama
picture-alliance/NurPhoto/Pradita Utama

Presiden Republik Indonesia Joko Wiododo telah resmi umumkan bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, menjadi lokasi baru ibu kota negara. Kedua wilayah tersebut akan menggantikan Jakarta yang dinilai sudah terlalu berat menanggung beban sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa.

Sebagian warga di Kalimantan Timur pun antusias mendengar pengumuman tersebut, namun ada juga yang khawatir bahwa rencana pemindahan ibu kota akan membawa masalah baru di tempat tinggal mereka.

Hexsa Apiyanto (26), warga asli Penajam Paser Utara, mengaku sangat senang menyaksikan detik-detik Presiden Jokowi mengumumkan daerah tempat tinggalnya serta Kutai Kartanegara sebagai lokasi baru ibu kota. Menurutnya, masyarakat asli di sana sangat bangga karena kabupaten yang baru resmi didirikan tahun 2002 silam tersebut, sudah dianggap layak menjadi ibu kota baru menggantikan Jakarta.

"Menurut saya sebagai warga asli orang Penajam Paser Utara sangat senang karena dengan berpindahnya ibu kota ke Penajam Paser Utara pasti meningkatkan pemerataan di Kalimantan, dari sektor pendapat masyarakat dan teknologi di Kalimantan, bisa sama dengan di Jawa,” ungkap Hexsa saat dihubungi DW Indonesia.

Ia pun menambahkan bahwa masyarakat Penajam Paser Utara sejauh ini mendukung keputusan pemerintah. "Sejauh ini belum ada info mereka menolak untuk ibu kota pindah ke Penajam, malahan mereka senang karena kabupaten yang masih dibilang baru ini cepat berkembang,” papar Hexsa.

Khawatir berdampak bagi lingkungan

Taufiq (38), pegawai salah satu anak perusahaan milik negara di Balikpapan, menilai keputusan pemerintah terkait pemindahan ibu kota merupakan keputusan yang prematur. Ia khawatir akan dampak lingkungan yang muncul dari proses pemindahan ibu kota. Pria yang juga lahir dan besar di Balikapapan ini berpendapat bahwa pemerintah seharusnya menata ulang ruang terbuka hijau terlebih dahulu di kedua wilayah sebelum melakukan pembangunan.

"Jangan bicara jauh soal pemindahan ibu kota, kita bicara tentang orang bangun perumahan. Katanya punya AMDAL, tapi nyatanya sebagian besar hutan atau tanaman yang tadinya melindungi dari erosi karena hujan terus dipapas jadi perumahan akhirnya menyebabkan banjir. Sistem perumahan skala kecil saja seperti itu, bagaimana kalau ibu kota?” ujar Taufiq kepada DW Indonesia.

"Daerah-daerah masih punya hutan lindung, kalau kita lihat burung-burung yang langka di Jawa masih ada di Kalimantan, hewan-hewan seperti payau, kijang, kucing hutan, masih terlihat. Nanti itu seperti apa relokasinya kalau sudah jadi wilayah pemerintahan baru?” Taufiq menambahkan.

Lebih lanjut ia juga menyoroti keadaan infrastruktur jalan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang menurutnya kerap kali diterjang banjir saat hujan tiba akibat dampak aktivitas pertambangan batubara di wilayah tersebut.

Senada dengan Taufiq, Vajri (27), warga asli Samarinda, menuturkan bahwa kondisi sejumlah infrastruktur di Kalimantan Timur masih belum siap sebagai ibu kota baru negara. Ia berharap seiring dengan pembangunan yang akan berjalan pada tahun 2020 mendatang, masalah-masalah tersebut dapat segera diatasi.

"Secara pemberitaan sih sepertinya siap, tapi saya yang tinggal di sini yang merasakan kondisinya, memang benar di Kaltim itu ada dua bandara besar di Balikpapan dan di Samarinda. Cuma masalah sekarang ini untuk akses ke bandara besar masih belum bagus karena kondisinya yang menuju bandara Samarinda, kemarin habis lebaran sempat hujan deras dan langsung akses ke bandara terputus karena banjir,” jelas Vajri.

"Mungkin di Kaltim sudah biasa dengan daerah tambang dan kelapa sawit cuma jangan lagi ditambah dengan pengrusakan lingkungan lagi dengan adanya rencana pemindahan ibu kota,” Vajri menambahkan.

Seperti Hexsa, terlepas dari kekhawatiran yang ada, Taufik dan Vajri pun berharap rencana pemindahan ibu kota dapat meningkatkan pemerataan di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Timur hinga tidak ada lagi ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa.

Bagaimana dengan Jakarta?

Kepada DW Indonesia, Hani (29) warga Jakarta, mendukung keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota dan pusat pemerintahan dari Jakarta. Ia pun mengaku tidak keberatan dengan berpindahnya ‘label' ibu kota ke wilayah lain, dikarenakan kondisi Jakarta yang saat ini mengharuskan adanya pemindahan tersebut. Ia pun meyakini pemindahan ibu kota tidak akan mengganggu jalannya aktivitas warga Jakarta.

"Karena terlalu crowded ya, terlalu penuh. Saya rasa Jakarta tidak mampu menampung lagi warga-warganya pendatang atau warga aslinya di Jakarta. Semua memang serba ada di Jakarta, tapi setiap hari bertambah, mobilitasnya sangat tinggi, memang harus ada perpindahan. Langkah-langkah pemerintah untuk memindahkan ini seperti di Nigeria contohnya ada ibu kota baru yang membantu ibu kota lama untuk mengurangi bebannya itu,” papar perempuan asli Tanah Abang ini.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Herman Khaeron, mengimbau pemerintah untuk melakukan kajian lebih dalam terkait rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Menurutnya pemindahan ini akan berdampak bagi para ASN serta pegawai-pegawai di institusi pemerintahan.

"Pemindahan ibu kota bukan sekadar memindahkan kantor dan gedung pemerintahan, tetapi berdampak pada pemindahan jutaan pegawai dan seluruh yang terkait dengan institusinya," jelas Herman dilansir dari Detiknews.

"Dampak lain adalah kesiapan keluarga seluruh pegawai negara berkantor di tempat yang baru, apakah akan ditinggalkan dan pulang-pergi atau berpindah ke tempat baru dengan meninggalkan tempat kehidupannya," lanjut Herman.

Politisi Partai Demokrat ini pun meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mengirimkan naskah akdemik Rancangan Undang-Undang pemindahan ibu ota agar dapar dibahas secara komprehensif di DPR. Mengacu pada kajian Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ada sejumlah UU yang perlu direvisi dan ada juga yang harus dibuat baru.

Salah satu UU yang perlu direvisi yakni UU Nomor 29 Tahun 2017 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI, sedangkan UU yang harus dibuat baru yakni tentang nama daerah yang dipilih sebagai ibu kota negara.

rap/hp

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement