Kamis 05 Sep 2019 08:25 WIB

RUU Ekstradisi Hong Kong Dicabut, Cina Mengalah?

Pencabutan RUU dinilai sudah terlambat.

Seorang warga menonton pidato Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengenai ditariknya RUU Ekstradisi di sebuah toko elektronik di Hong Kong, Rabu (4/9).
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Seorang warga menonton pidato Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengenai ditariknya RUU Ekstradisi di sebuah toko elektronik di Hong Kong, Rabu (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam akhirnya resmi mengumumkan penarikan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi, Rabu (4/9). RUU itu diketahui menjadi pemicu gelombang demonstrasi selama sekitar tiga bulan terakhir.

"Pemerintah akan secara resmi menarik RUU (ekstradisi) untuk menghilangkan kekhawatiran publik," kata Lam dalam pidatonya yang disiarkan stasiun televisi di sana.

Baca Juga

Dia mengatakan, prioritas pemerintahannya saat ini adalah mengakhiri kekerasan, menjaga supremasi hukum, dan memulihkan ketertiban serta keamanan di masyarakat. "Karena itu, pemerintah harus menegakkan hukum secara ketat terhadap semua kekerasan dan tindakan ilegal," ucapnya.

Lam tak menampik gelombang demonstrasi selama sekitar tiga bulan terakhir menimbulkan dampak serius bagi Hong Kong. "Kekerasan yang berkepanjangan merusak fondasi masyarakat kita, terutama aturan hukum," ujar Lam.

Kendati demikian, dia tetap akan mengajak kelompok-kelompok yang telah berpartisipasi dalam demonstrasi untuk berdialog. Lam pun akan mengundang tokoh masyarakat, kalangan profesional, serta akademisi guna mengkaji masalah yang terjadi di masyarakat dan meminta saran atau usulan mereka sebagai bahan solusi.

Namun, dia mengisyaratkan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan demonstran harus dihentikan sebelum dialog dimulai. "Mari kita ganti konflik dengan percakapan dan mari kita cari solusi," kata Lam.

Pengumuman penarikan RUU ekstradisi dilakukan Lam setelah bertemu anggota parlemen pro pemerintah dan anggota Kongres Rakyat Nasional serta Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina.

Sementara itu, tokoh utama unjuk rasa ini, Joshua Wong, menilai langkah Pemerintah Hong Kong amat terlambat. "Sangat minim dan sudah terlambat," kata Wong di akun Facebook-nya. "Orang tak akan percaya bahwa ini langkah yang tulus."

Anggota parlemen, Michael Tien, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, penarikan RUU tidak akan mengubah sentimen publik. Dia berpendapat, harus ada langkah selanjutnya yang diambil pemerintah, terutama perihal penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran serta kekerasan polisi kepada demonstran.

"Kebanyakan orang tidak ingat tentang apa RUU itu, tetapi mereka ingat pada kekerasan yang meningkat serta dugaan polisi bersikap kasar terhadap pengunjuk rasa," kata Tien.

Pendapat Tien memang diamini sejumlah masyarakat Hong Kong. "(Penarikan RUU) ini tidak akan menenangkan para pengunjuk rasa. Dalam waktu apa pun, orang-orang akan menemukan sesuatu yang bisa membuat mereka marah,\" kata Boris Chen (37 tahun).

photo
Siswa sekolah di Hong Kong berunjukrasa dan menolak bersekolah di Hong Kong, China, Senin (2/9).

Warga Hong Kong lainnya, Pearl (69 tahun), mengatakan, demonstrasi memang tak lagi tentang RUU ekstradisi. "Beberapa dari orang-orang itu mungkin berubah pikiran, mungkin, tetapi hanya minoritas. Beberapa dari mereka hanya ingin membuat masalah dan mereka akan terus melakukannya," ujarnya.

Selain penarikan RUU, memang ada beberapa hal lain yang menjadi poin tuntutan demonstran. Mereka meminta kata kerusuhan dicabut dalam menggambarkan aksi unjuk rasa, pembebasan semua demonstran yang ditangkap, penyelidikan independen terhadap polisi yang dianggap melakukan kekerasan, dan hak bagi rakyat Hong Kong untuk secara demokratis memilih pemimpin mereka sendiri.

Kepolisian Hong Kong, yang telah berulang kali membantah menindak demonstran secara biadab, belum memberikan komentar terhadap tuntutan demonstran tentang dilakukannya penyelidikan independen. Sementara itu, Cina yang terus-menerus mengecam aksi demonstrasi Hong Kong belum merespons perkembangan situasi terkini di wilayah bekas jajahan Inggris tersebut. Namun, pada Selasa lalu Beijing sempat memperingatkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam jika kerusuhan mengancam keamanan dan kedaulatannya.

Para aktivis demokrasi Hong Kong telah menulis surat terbuka kepada Kanselir Jerman Angela Merkel. Dia memang diagendakan mengunjungi Beijing. Dalam suratnya, Wong dan rekan-rekannya mengatakan bahwa Jerman harus berjaga-jaga dalam menjalin bisnis dengan Cina. Merkel pun diperingatkan tentang kehidupan di bawah kepemimpinan diktator Jerman Timur.

"Kanselir Merkel, Anda dibesarkan di Jerman Timur. Anda pada mulanya mengalami kengerian rezim diktator. Kami ingin Anda menunjukkan keberanian serta tekad terhadap rezim otoriter dan tidak adil yang mengilhami Jerman serta Eropa sebelum berakhirnya perang dingin," kata Wong.

"Jerman harus waspada melakukan bisnis dengan Cina karena Cina tak mematuhi hukum internasional serta telah berulang kali melanggar janjinya," ujar Wong.

RUU ekstradisi merupakan akar penyebab terjadinya gelombang demonstrasi di Hong Kong selama hampir tiga bulan terakhir. Masyarakat Hong Kong menganggap RUU tersebut merupakan ancaman terhadap independensi proses peradilan di Hong Kong.

Pasalnya, bila diratifikasi, RUU itu memungkinkan otoritas Hong Kong mengekstradisi pelaku kejahatan atau kriminal ke Cina daratan. Mereka menilai RUU itu dapat merusak independensi hukum Hong Kong. Pengunjuk rasa pun mendesak Lam segera mundur dari jabatannya karena dinilai terlalu berpihak pada Beijing. n kamran dikarma/ap/reuters ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement