REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan penolakan atas rencana sepihak DPR merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pihak KPK menilai, disertai faktor-faktor lain, langkah DPR itu mengancam keberadaan KPK. Ini bukan pertama kali DPR periode 2014-2019 ingin merivisi UU KPK.
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Bukan tanpa sebab. Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam jumpa pers di gedung KPK, Kamis (5/9).
Agus menyatakan, terdapat sembilan persoalan di draf rancangan revisi UU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK. Di antaranya, independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik yang dibatasi, serta penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria alasan kasus ditangani KPK, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, serta kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. “Dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas," kata Agus.
Tak hanya RUU KPK, kata Agus, ternyata DPR juga tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari tindak pidana korupsi. Ia memaklumi, KPK hanyalah lembaga yang menjalankan undang-undang. “Akan tetapi, KPK juga meminta teman-teman di DPR tidak menggunakan wewenang (membuat regulasi) tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK," ujar Agus.
KPK, kata Agus, juga menyadari RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin menjadi UU jika Presiden Joko Widodo menolak karena undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan presiden.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif juga mengatakan, salah satu alasan penolakan karena pihak parlemen tak pernah memberi tahu ataupun mengajak KPK dalam mengkaji substansi RUU tersebut. "Yang jelas KPK tidak membutuhkan perubahan UU KPK," kata Syarif saat dihubungi Republika, Kamis (5/9).
Ia juga berpendapat, perubahan UU KPK merupakan upaya pelemahan KPK. \"Pada kenyataannya mereka (DPR dan pemerintah) berkonspirasi melemahkan KPK secara diam-diam," kata Syarif menegaskan.
DPR resmi mengesahkan agenda pembahasan perubahan kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, kemarin. Usulan Badan Legislasi (Baleg) tersebut berjalan mulus melalui rapat paripurna yang digelar Kamis (5/9).
"Dengan demikian, 10 fraksi telah menyampaikan pendapat fraksinya masing-masing. Pendapat fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi DPR RI tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30/2002 tentang KPK dapat disetujui jadi usul DPR RI?\" kata Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Utut Adianto, selaku pimpinan rapat melempar pertanyaan kepada peserta sidang, Kamis (5/9).
Seluruh peserta rapat yang hadir pun kompak menjawab setuju usulan tersebut. Pandangan fraksi hanya disampaikan tertulis dan langsung disampaikan ke pimpinan DPR. Tidak ada pula interupsi dari para anggota yang hadir.
Hanya ada sekitar 77 anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut, sedangkan 204 anggota meminta izin tidak hadir. Namun, dalam rapat Utut Adianto mengungkapkan total 281 anggota dewan menghadiri rapat paripurna. Keputusan tersebut terkesan tiba-tiba karena publik baru mengetahui rencana tersebut pada Rabu (4/9).
Jika ingin mengesahkan rancangan regulasi itu, anggota DPR periode 2014-2019 harus bekerja lekas karena masa jabatan mereka akan berakhir pada Oktober nanti. Revisi UU KPK sudah beberapa kali diwacanakan DPR, tapi selalu mendapat penolakan KPK dan unsur-unsur elemen masyarakat. Upaya revisi sebelum ini sempat dilakukan pada 2017 lalu.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo.
Dalam draf regulasi tersebut, yang diperoleh Republika, ada sejumlah perubahan fundamental dari beleid terdahulu (lihat infografis halaman 8). Salah satunya, dalam Pasal 3, penempatan KPK sebagai lembaga di pusat negara yang berimplikasi KPK masuk dalam eksekutif serta pegawainya bakal tunduk sebagai aparatur sipil negara.
Selain itu, ada juga pembentukan unsur baru di KPK yang dinamai Dewan Pengawas. Unsur ini akan beranggotakan empat orang serta satu ketua yang calonnya diusulkan presiden dan disetujui DPR. Nantinya penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan oleh penyidik KPK harus seizin unsur tersebut.
Selain itu, yang juga bakal menegasikan kinerja KPK belakangan adalah Pasal 12 yang menghilangkan alasan “menarik perhatian dan meresahkan publik” sebagai dasar KPK menangani kasus tertentu. KPK hanya boleh menangani kasus yang melibatkan penegak hukum dan penyelenggara negara dengan kerugian negara di atas Rp 1 miliar.
Belakangan, KPK kerap melakukan OTT terhadap kepala daerah dengan nilai suap yang jauh di bawah batas tersebut. Jika regulasi baru disahkan, hanya kepolisian dan kejaksaan yang bisa menangani kasus dengan kerugian negara di bawah Rp 1 miliar.