Senin 16 Sep 2019 11:20 WIB

Asap Karhutla Datang, Nyawa Nyaris Melayang

BMKG menyebut musim kemarau belum akan berlalu hingga November.

Warga beraktivitas mengenakan masker medis ketika kabut asap Karhutla menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Ahad (15/9/2019).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Warga beraktivitas mengenakan masker medis ketika kabut asap Karhutla menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Ahad (15/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang ibu nyaris jatuh dari motornya saat berkendara di sekitar Tugu PON Kota Dumai, Riau, Jumat (13/9). Ia terlihat sempoyongan saat berhenti di lampu pengatur lalu lintas Bundaran Jalan Sukajadi-Sultan Sarif Kasim, beberapa kali sempat menyandarkan kepala di sepeda motor, sebelum ia kehilangan keseimbangannya.

Menurut Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Primer Dinas Kesehatan Kota Dumai Hafidz Permana, setelah dilakukan pemeriksaan medis diketahui sang ibu yang ternyata menderita asma kesulitan bernapas akibat menghirup asat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang pekat.

Baca Juga

Sebelum itu, Hafidz mengatakan, empat siswi SMA di Kota Dumai juga harus mendapat perawatan medis. Meraka mengaku pusing-pusing karena terlalu banyak menghirup asap karhutla saat mengikuti proses belajar dalam kelas.

Saat itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Dumai mendapat data bahwa angka indeks standar polusi udara (ISPU) saat itu berada di atas 300 PSI. Kota masuk dalam kategori berbahaya.

 

Tidak berhenti, Rizka (23), guru Abdurrab Islamic School di Pekanbaru, kolaps saat berada di sekolah pada Selasa (10/9). Asma yang dideritanya kambuh dipicu kondisi udara yang tidak sehat oleh asap karhutla.

Pembina Yayasan Abdurrab Susiana Tabrani mengatakan, Rizka diselamatkan dengan digotong beramai-ramai dari lantai tiga gedung sekolah tersebut ke Rumah Sakit Eka Hospital yang untungnya tidak jauh dari sana. Guru itu terselamatkan dan menjalani perawatan intensif dengan penyokong oksigen dan ditempatkan di kamar khusus agar tidak terpapar asap lagi.

Ini belum selesai. Bayi bernama Elsa Pitaloka meninggal dunia diduga terpapar kabut asap. Bayi berusia empat bulan itu meninggal dunia di Rumah Sakit ar-Rasyid Palembang, Ahad (15/9), setelah mengalami sesak napas sejak Sabtu (14/9).

Orang tua bayi Elsa yang merupakan warga RT8 Dusun II, Desa Talang Buluh, Kecamatan Talang Kepala, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, hendak melarikan buah hatinya ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin Palembang sesuai rujukan dokter di Rumah Sakit ar-Rasyid. Hal itu dilakukan mengingat rumah sakit tersebut tidak memiliki fasilitas alat pompa pernapasan.

Namun, takdir berkata lain. Elsa meninggal dunia setelah menurut dokter mengalami gagal pernapasan.

'Badai Asap' tampaknya belum akan hilang. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan musim kering belum akan berlalu hingga November. Tidak ada pula yang dapat menjamin embusan angin akan menjauhkan asap karhutla pembawa bencana itu dari masyarakat.

Sebagai pengingat, data Bank Dunia 2016 menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi dalam satu bulan, yakni pada September hingga Oktober 2015, melepaskan emisi CO2 setara dengan emisi bahan bakar fosil tahunan Jepang atau India, yang menyebabkan 69 juta populasi terekspose udara tidak sehat dan membebani anggaran lebih dari 16 miliar dolar AS atau sekitar Rp 232 triliun.

Perlu dicatat, jumlah tersebut 8,28 kali lipat jumlah perkiraan defisit BPJS Kesehatan selama 2019 yang mencapai Rp 28 triliun. Angka itu pun belum memperhitungkan dampaknya terhadap kesehatan jangka panjang masyarakat ataupun keutuhan ekosistem.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement