REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkhawatirkan serangan terhadap dua fasilitas minyak milik Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais bakal berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini menengok kenaikan harga minyak dunia menyusul serangan tersebut.
Menurut dia, pengaruh serangan itu terhadap pasokan minyak mentah dari Arab Saudi diprediksi berdampak pada negara-negara yang selama ini mendapat suplai minyak, termasuk Indonesia. “Sudah terlihat harga minyak internasional meningkat tinggi hanya dalam sehari. Nanti kita lihat apakah dampak ini bersifat permanen atau sementara,” kata Sri Mulyani di Jakarta, kemarin.
Sri Mulyani menegaskan, pihaknya terus memantau perkembangan kinerja neraca perdagangan, terutama neraca migas. Hal ini mengingat neraca migas Indonesia masih mengalami defisit hingga bulan lalu. “Kita lihat setiap bulan perkembangan dari pasar regional, pasar global apa yang menimbulkan faktor positif, dan seterusnya maka kita lihat trennya,” ujar dia.
Ia kemudian mengatakan, melonjaknya harga minyak mentah dunia merupakan bukti adanya faktor ketidakpastian dari perekonomian global. Mulai dari kebijakan pemerintah negara-negara lain terkait isu politik, geopolitik, hingga kasus serangan terhadap pabrik minyak yang memengaruhi pasokan minyak mentah dunia. “Geopolitik dan terutama politik global banyak menimbulkan munculnya ketidakpastian,” ucap dia.
Serangan menggunakan drone alias pesawat nirawak itu terjadi pada Sabtu (14/9) dini hari. Kilang minyak yang menjadi sasaran adalah milik Aramco dan berlokasi di Abqaif (7 juta barel per hari) dan Khurais (1,5 juta barel per hari). Serangan itu memicu kebakaran hebat dan menghentikan setengah pasokan minyak Saudi.
Dalam sebuah pernyataan singkat di al-Masirah, stasiun televisi Yaman yang dikuasai kelompok Houthi, juru bicara juru bicara kelompok itu, Yahia Sarie, mengatakan bahwa kelompoknya meluncurkan 10 drone setelah menerima dukungan intelijen dari dalam Arab Saudi. Ia memperingatkan, serangan akan semakin memburuk jika perang terus berlanjut.
Koalisi negara-negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi dan didukung Amerika Serikat melancarkan perang di Yaman sejak 2015. Arab Saudi ingin mengembalikan pemerintahan yang diakui masyarakat internasional setelah pemberontak Houthi merebut Ibu Kota Sana’a pada 2014. Saudi dan AS kerap menuding Iran berada di balik kelompok Houthi.
Pada perdagangan Senin (16/9), Financial Times melansir bahwa harga minyak mentah Brent sempat melonjak sebesar 20 persen mendekati 72 dolar AS per barel. Sementara, pada siang hari, lonjakan harga itu menurun menjadi 9,2 persen atau 65,72 dolar AS per barel.
Sementara pada Selasa (17/9), mengutip Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent melejit 8,8 dolar AS atau 14,6 persen menjadi 69,02 dolar AS per barel. Lonjakan tersebut merupakan lonjakan harian terbesar setidaknya sejak 1988.
Meski melonjak, harga minyak mentah itu masih di bawah asumsi ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, yakni 70 dolar AS per barel. Pada Agustus 2019, ICP tercatat sebesar 57,26 dolar AS per barel, turun 4,05 dolar AS per barel dari bulan sebelumnya.
Dorong defisit
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kejadian penyerangan kilang di Arab Saudi semakin mendorong defisit perdagangan sejumlah negara, khususnya negara-negara net importir minyak, seperti Indonesia.
Faisal menambahkan, kenaikan harga minyak juga berpotensi mendorong tingkat inflasi yang tahun ini ditargetkan berada pada rentang 3,5 persen oleh Bank Indonesia (BI). Kesinambungan ini terjadi seiring dengan kenaikan harga BBM di dalam negeri. \"Bagi masyarakat, ini bisa berdampak pada penurunan daya beli,\" ucapnya saat dihubungi Republika, Selasa (17/9).
Secara tidak langsung, Faisal menjelaskan, kenaikan harga minyak dunia juga akan berdampak pada dunia usaha. Pasalnya, BBM menjadi komponen utama dalam biaya produksi industri, baik untuk kebutuhan logistik maupun mesin. Dampak berikutnya, daya saing industri semakin tertekan, khususnya pada sektor manufaktur.
Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah tidak terburu-buru mencabut subsidi energi. Faisal mengatakan, kebijakan subsidi diharapkan dapat mempertahankan daya beli masyarakat. Seperti diketahui, pemerintah akan memangkas anggaran subsidi energi tahun depan.
Pemerintah bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR sebelumnya sepakat menggelontorkan subsidi energi sebesar Rp 124,87 triliun dalam postur sementara RAPBN 2020. Angka ini turun dibandingkan yang diusulkan dalam Nota Keuangan RAPBN 2020 oleh pemerintah, yaitu Rp137,46 triliun.
Selain itu, Faisal menambahkan, pemerintah juga harus membenahi daya saing manufaktur, terutama yang berorientasi ekspor. Upaya ini dinilai dapat mendorong akselerasi ekspor. "Selain itu, menekan ketergantungan impor yang terlalu tinggi melalui pendalaman industri," tuturnya.
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman sebelumnya mengatakan, belum ada perubahan jadwal terkait kontrak pembelian minyak Pertamina dari Saudi Aramco. Ia mengatakan, belum dapat memastikan secara langsung dampak kejadian di Arab Saudi terhadap Pertamina dan pasar minyak mentah di Indonesia.
Meski begitu, lanjut Fajriyah, Pertamina sudah tidak terlalu banyak melakukan impor minyak mentah dan lebih menggeliatkan penyerapan minyak mentah dalam negeri. n ed: fitriyan zamzami