REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) September 2019 yang menurunkan suku bunga acuan dan meluncurkan bauran kebijakan terbaru dipandang sebagai stimulus yang cukup baik. SVP Kepala Ekonom BNI, Ryan Kiryanto menyampaikan pelonggaran kebijakan makroprudensial Loan to Value (LTV) dan Rasio Intermediasi Makroprodensial (RIM), dan melengkapi kebijakan moneter cukup mengejutkan.
"Bauran kebijakan oleh BI ini jelas dimaksudkan untuk mengakselerasi kegiatan perekonomian melalui jalur sistem perbankan," kata dia pada Republika.co.id, Kamis (19/9).
Perbankan dikondisikan untuk segera menyesuaikan arah suku bunga baik simpanan dan kredit, sesuai dengan arah suku bunga acuan sebagai jangkar. Cepat atau lambat gerakan suku bunga akan bergerak ke bawah.
Pada gilirannya ini akan mendorong permintaan kredit produktif karena dilonggarkannya rasio RIM. Juga mendorong kredit konsumtif dengan dilonggarkannya rasio LTV untuk kredit properti atau KPR dan kredit kendaraan bermotor.
Ini dari sisi konsumen bank (demand side). Sedangkan dari sisi bank (supply side), perbankan didorong melonggarkan suku bunga, utamanya bunga kredit. Sehingga fungsi intermediasi meningkat selaras dengan relaksasi rasio likuiditas (RIM) dan rasio LTV.
"Jadi langkah BI saat ini boleh dibilang sangat strategis dan monumental karena bauran kebijakannya yang bersifat "jamu manis" amat dibutuhkan oleh perbankan dan pelaku sektor riil," kata dia.
Hanya saja ini belum cukup. Kebijakan BI ini perlu diselaraskan atau diimbangi dengan kebijakan fiskal, ekonomi dan investasi yang juga harus akomodatif atau longgar. Sehingga terjadi bauran kebijakan yang baik dan kredibel antara moneter dan makroprudensial (BI) dan fiskal (Pemerintah khususnya Kemenkeu).
Reformasi struktural pun tetap harus menjadi agenda prioritas pemerintah. Pada akhirnya, ia berharap pertumbuhan DPK bisa tumbuh lebih baik di kisaran 8-10 persen dan kredit berkisar 11-13 persen di 2019 ini dengan outlook pertumbuhan ekonomi berkisar 5,1 persen (yoy).