REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengklarifikasi pasal tentang tindak pidana korupsi dalam Rancangan Undang Undang RKUHP yang dinilai pidananya lebih ringan kepada koruptor. Menurut Yasonna, ancaman pidana penjara bagi koruptor justru diperberat.
Pasal 603 RKUHP diketahui menyebut 'Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI'.
Yasonna menjelaskan, pasal tersebut untuk membedakan dan memperberat hukuman kepada pejabat negara dibandingkan nonpejabat negara. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi, ancaman minimum pidana terhadap pejabat negara yang terlibat korupsi hanya satu tahun pidana penjara.
"Karena dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor mengancamkan hukuman setiap orang lebih tinggi dari ancamam minimum khusus penyelenggara negara. Jadi lebih rendah penyelenggara negaranya," ujar Yasonna saat menggelar konferensi pers dengan wartawan di Graha Pangayoman Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat (20/9).
Karenanya, di RKUHP ancaman terhadap pejabat negara yang korupsi diperberat ancaman minimalnya menjadi dua tahun. "Jadi kalau dilakukan oleh pejabat negara hukuman minimumnya jadi dua tahun. Kalau di UU tipikor yang lama kalau dia pejabat negara ancaman hukumannya minimum satu tahun," kata Yasonna.
Karenanya, Yasonna menegaskan RKUHP lebih menekankan bahwa hukuman bagi pelaku korupsi dari unsur penyelenggara lebih berat. Ini juga menurut Yasonna untuk memberikan keadilan untuk orang yang bukan pejabat negara atau yang tidak terlalu berperan dalam tindak pidana korupsi.
"Bukan menurunkan (hukuman koruptor). Tidak. Mengoreksi supaya lebih fair. Supaya penyelenggara negara lebih berat ancaman hukumannya ketimbang rakyat biasa. Itu klarifikasinya," ujar Yasonna.
"Jadi melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi dan memberikan ancaman hukuman lebih berat kepada pelaku yang memegang peran dalam pelaksanaan korupsi," kata Yasonna.
Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi juga menjelaskan tindak pidana khusus seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, pencucian uang, dan lainnya juga tidak mengenyampingkan UU yang bersifat khusus (lex specialis) yang berlaku saat ini.
"Tidak pidana khusus tentang terorisme, korupsi, pelanggaran HAM berat, TPPU, dan sebagainya itu tetap diatur berkoordinasi. Intinya mereka tetap berusaha harus tunduk pada undang-undang yang eksisting yang ada. Ada kewenangan KPK, BNN dan sebagainya kecuali kalau memang ada perubahan dari undang-undang," ujar Muladi.