REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut gembira atas ketetapan DPR RI menunda pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Wakil Ketua Umum MUI, KH Zainut Tauhid Sa'adi menilai DPR telah mengambil keputusan bijak.
"RUU PKS telah menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam dari berbagai kelompok masyarakat sehingga menurut pandangan kami perlu ada pendalaman lebih lanjut," kata Kiai Zainut kepada Republika, Kamis (26/9).
Menurutnya, pembahasan RUU PKS harus lebih banyak melibatkan masyarakat. Sehingga dapat dihasilkan RUU PKS yang lebih baik dan komprehensif. Alasan lain RUU PKS harus ditunda pengesahannya karena harus menunggu pengesahan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebab, beberapa pasal sanksi pidana dalam RUU PKS harus merujuk kepada pasal-pasal dalam KUHP agar sinkron. Mengenai penundaan pengesahan KUHP, Kiai Zainut menyampaikan sangat menyesal karena mengingat sudah mendesaknya kebutuhan bangsa Indonesia memiliki KUHP buatan sendiri.
"Indonesia butuh KUHP yang berpijak dan bersumber dari nilai-nilai moral, agama dan budaya bangsanya sendiri, bukan UU yang bersumber dari kolonial Belanda seperti KUHP yang kita gunakan selama ini," ujarnya.
Tapi Kiai Zainut mengatakan, mengingat pertimbangan situasi yang tidak kondusif saat ini. Maka MUI dapat memahami DPR penundaan pengesahan KUHP. MUI harapan DPR periode 2019-2024 dapat melanjutkan pembahasannya dengan lebih aspiratif, akomodatif dan sempurna.