REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelolaan data wakaf di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini berimbas pada tidak terukurnya keberhasilan pengembangan wakaf dan inovasinya yang kini semakin gencar. Juga, tingkat kepercayaan masyarakat.
Pengumpulan data saat ini berpusat di Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama. Keduanya memiliki data wakaf yang berbeda, tidak rutin terperbarui, dan sulit diakses masyarakat.
Komisioner BWI, Hendri Tanjung mengakui bahwa pengumpulan data wakaf BWI memang masih lemah. Hal tersebut karena sistem evaluasi dan monitoring terhadap nadzhir yang tidak ketat.
"Data ini memang kita lemah, karena nadzhir-nadzhir yang diberi izin tidak semuanya melaporkan," kata dia dalam diskusi publik dan konferensi pers Potensi Ekonomi Wakaf dalam Ekosistem Ekonomi Syariah Indonesia di Gedung Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis (26/9).
Untuk mengatasi hal ini, BWI akan mulai perapihan sistem informasi wakaf (siwak) bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI). Menurut Hendri, total nadzhir di Indonesia telah mencapai sekitar 200 unit yang mayoritas dalam bentuk BMT dan koperasi syariah.
Semua nadzhir akan diberi pelatihan untuk membuat sistem pelaporan yang baik agar lebih rapi. Hendri berharap pada tahun depan, data-data aset wakaf baik dalam bentuk tanah maupun tunai akan lebih jelas.
Sementara itu, Direktur Bidang Keuangan Inklusif, Dana Sosial Keagamaan, dan Keuangan Mikro Syariah, Ahmad Juwaini menyampaikan Kemenag sudah rutin melaksanakan siwak sejak tiga tahun lalu. Datanya diupdate setiap bulan.
"Data terbaru yang saya terima dua hari lalu, total tanah wakaf yakni 449 ribu hektar di 364 ribu lokasi," kata dia pada kesempatan yang sama.
Ahmad meyakini jumlahnya lebih besar dari itu. Karena, tanah-tanah wakaf yang ada di nadzhir perseorangan tidak terlaporkan. Pemerintah melalui BPS, BI, Bappenas, termasuk KNKS juga pernah melakukan sensus tanah wakaf melalui sensus pedesaan.
Ada tiga pertanyaan yang ikut dalam sensus pedesaan tersebut. Setiap desa ditanyai apakah ada tanah wakaf di sana, berapa luasnya, dan bagaimana kondisinya. Ahmad mengatakan pemetaan tersebut dinilai cukup memadai meski masih kurang.
"Kami ingin melakukan pemetaan lebih konkrit dalam bentuk informasi geospasial, tapi terkendala oleh dana yang katanya mencapai Rp 1 triliun," katanya.
Pengumpulan data wakaf tunai pun kini masih tercecer. Padahal dengan kemajuan teknologi, BWI bisa mengumpulkannya langsung dari lembaga-lembaga keuangan pengumpul wakaf.
Ahmad mengatakan harus ada klausul yang menegaskan bahwa lembaga-lembaga tersebut punya kewajiban melapor pada BWI. Artinya, ada perubahan dalam struktur akad berwakaf.
KNKS sendiri berkomitmen melakukan perapihan dan pengumpulan data secara terpusat terkait wakaf. Namun kemungkinan tidak bisa dilakukan tahun ini maupun tahun depan. Ahmad mengatakan KNKS akan memulai dengan perapihan data dana zakat yang managemen datanya lebih baik.