REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, menilai kasus korupsi yang menjerat Rizal Djalil membuktikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga rentan menjadi objek suap. Firdaus mengungkapkan, ada indikasi praktik jual beli opini dalam audit keuangan yang dilakukan BPK.
Menurut Firdaus, ICW sudah sejak lama mengungkap adanya audit laporan keuangan yang di dalamnya terindikasi praktik jual beli opini. "Banyak pemda atau kementerian dan lembaga yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Bagaimana caranya? Dari hasil temuan-temuan itu, ternyata dinegosiasikan (status opininya)," ujar Firdaus di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (26/9).
Menurut dia, temuan itu berisi materi yang sangat signifikan. Beberapa temuan itu, misalnya, terjadi di Bekasi, di DKI saat era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP), serta kasus Sumber Waras. Firdaus melanjutkan, BPK dalam bekerja melakukan tiga hal, yakni pemeriksaan laporan keuangan, investigasi, dan audit kinerja.
"BPK dalam melakukan kerja-kerjanya itu acap kali diindikasikan dia tidak sesuai dengan standar atau mekanisme pemeriksaan. Standar pemeriksaannya kan jelas temuan simpulan segala macam yang menjadi faktor terbesar dalam pemeriksaan," kata dia.
Firdaus kemudian mengaitkan dengan kasus Rizal Djalil. Rizal diduga menerima suap dari salah satu perusahaan air minum. Menurut Firdaus, pola yang terjadi dalam kasus Rizal ini terjadi setelah BPK melakukan audit keuangan. ''Ada perusahaan yang mendekat kemudian difasilitasi dalam tanda kutip dan akhirnya mendapatkan proyek. Kalau teman-teman coba menelusurinya, ternyata perusahaan ini dapat ratusan miliar, banyak sekali gitu," kata dia.
Kasus serupa, kata dia, juga pernah terjadi di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Pada saat itu auditor disuap untuk mendapatkan opini WTP. Karena itu, menurut Firdaus, menekan dan mendekati seorang auditor BPK merupakan hal yang sangat mungkin.
''Nah, pertanyaan kita kan apakah ini hanya berlaku di satu-dua orang atau dia berlaku secara masif, tidak hanya di struktur anggota, tetapi juga di pegawai BPK; tidak hanya di kantor pusat Slipi, tapi juga anggota BPK perwakilan di daerah yang notabene lebih sulit temuan-temuannya," kata Firdaus.
Pada Rabu (25/9), KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Rizal Djalil dan Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama Leonardo Jusminarta Prasetyo. Leonardo diduga menyuap Rizal senilai 100 dolar Singapura agar membantu perusahaannya mendapat proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian PUPR. Penetapan tersangka itu bagian pengembangan kasus operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Desember 2018.
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengaku akan tetap mengikuti prosedur hukum yang berlaku bila petingginya terjerat kasus korupsi. Moermahadi mengaku belum mendapat informasi resmi dari KPK soal penetapan tersangka terhadap Rizal.
"Saya baru tahu penetapan tersangka lewat media, belum dikasih tahu resminya (KPK secara langsung). Tapi, kita tetap taati ketentuan hukum yang berlaku. Kami ikuti," kata dia.
Menurut Moermahadi, publik sebaiknya menyikapi kasus yang menimpa Rizal secara bijaksana. Pasalnya, kasus itu merupakan kesalahan oknum, bukan BPK secara lembaga. "Ini tindakan oknum, bukan BPK secara lembaga. Keputusan-keputusan enggak dibawa ke sidang badan. Prosesnya di masing-masing angggota. Apalagi, kaitannya enggak ada pemeriksaan yang disangkakan itu," kata dia.
Di sisi lain, ia menyampaikan, BPK belum bisa memutuskan akan memberi pendampingan hukum pada Rizal atau tidak. Pihaknya masih akan mengkaji kasus hukum yang menimpa Rizal sebelum bisa memutuskan. "Tergantung kasusnya. Kami bicarakan di sidang badan. Baik buat anggota dan pegawai akan kami lihat kasusnya. Kami belum tahu. Tunggu (pemberitahuan) KPK, baru kita bersidang untuk tetapkan (pendampingan hukum)," kata dia. n dian erika nugraheny/rizky suryarandika, ed: ilham tirta