Jumat 27 Sep 2019 15:58 WIB

HMI Minta Pemerintah dan DPR Tinjau Ulang UU KPK dan RKUHP

HMI menilai sejumlah pasal kontroversial.

Rep: Ali mansur/ Red: Muhammad Hafil
Logo HMI.
Foto: Google.plus
Logo HMI.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) meminta Pemerintah minjauan kembali sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) yang menjadi polemik di masyarakat. RUU yang dinilai bermasalah sepeti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi UU. No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang tidak sejalan dengan semangat reformasi. 

Ketua Umum PB HMI, Arya Kharisma Hardy mengatakan, dalam RKUHP ada beberapa pasal yang menurut pihaknya tampak ngawur dan berpotensi mengancam kebebasan sipil. Sebagai contoh pada pasal 218 tentang penghinaan presiden dan wapres diancam hukuman 3,5 tahun penjara, pasal 219 pelaku penyiaran penghinaan diancam 4,5 tahun penjara. "Ini ciri pasal karet, dan melukai keadilan," keluhnya, kepada Republika.co.id, Jumat (27/9).

Baca Juga

Arya berpendapat pasal semacam itu tentunya akan membungkam suara publik. Tidak menutup kemungkinan, sebuah kritik kelak akan ditafsirkan sebagai penghinaan. Padahal di alam demokrasi, kritik sesuatu yang wajar dan masih banyak pasal yang terasa janggal. 

Kemudian Arya merinci pasal-pasal yang dinilai kontroversial di antaranya, pasal 281, pasal 282 yang merugikan kalangan advokat karena tidak ada penjelasan rinci. Pasal 252 tentang santet yang sulit dibuktikan. "Ada pasal 278 tentang ancaman denda Rp 10 juta jika membiarkan unggas ternak berkeliaran di lahan orang lain," tutur Arya.

Belum lagi kata Arya, pasal yang terkait kebebasan pers seperti Pasal 218, 219, 220, 241,  247, 262, 263, 305, 354, 440, 444. Dalam pasal tersebut, ntinya jurnalis atau netizen yang menghina presiden/wapres terancam pidana. Belum lagi RUU Pertahanan yang memberi kelonggaran bagi pemodal besar untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) yang tentu sangat merugikan rakyat. 

Maka hak yang wajar jika ada anggapan bahwa RKUHP ini seolah menginjak-injak akal sehat publik. Sebab sangat multitafsir dan berpotensi disalahgunakan. Seperti halnya Pasal 422 tentang gelandangan disebutkan bahwa wanita pekerja pulang malam hari dan terlunta-lunta bisa dianggap gelandangan dan terancam kena denda Rp 1 juta. 

"Bayangkan, jika anda menunggu angkutan umum menuju rumah jangan jangan bisa dituduh gelandangan," sindir Arya.

Oleh karena itu, PB HMI mendesak supaya revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Koperasi dan lainnya ditinjau ulang. Sebab tidak sejalan kepentingan rakyat dan negara. Ia juga menyatakan dukungannya pada gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak sejumlah undang-undang itu. Apalagi sudah ada korban berjatuhan akibat tindakan represif aparat yang tidak bijak menangani demonstrasi akhir-akhir ini. 

"Kami meminta oknum pelaku kekerasan, yang memakan korban jiwa diusut tuntas segera, dan dihukum sesuai aturan yang berlaku. Kemudian meminta aparat tidak main hakim sendiri," tutur Arya. 

Selanjutnya, PB HMI juga menilai revisi UU KPK memperlemah lembaga anti rasuah itu dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Berdasarkan pasal 1 ayat (3), pasal 3 menjadikan KPK bukan lagi lembaga independen tetapi bagian dari level eksekutif.

Kemudian dibentuk dewan pengawas yang menurut pasal 37 E ayat (1) diangkat oleh presiden. Artinya kerja-kerja KPK harus seizin dewan pengawas, mulai dari penyadapan hingga penggeledahan atau OTT. Selain itu, penuntutan sesuai pasal 12 A harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. 

"Kalau dilihat dari revisi UU KPK justru memperlemah KPK. Dan besar kemungkinan terjebak jadi alat politik," tutup Arya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement