Senin 30 Sep 2019 10:39 WIB

Kisruh Politik Intai Afghanistan

Tingkat partisipasi pilpres kali ini hanya pada kisaran 20 persen.

Seorang perempuan memberikan suaranya dalam pemilu di Kota Kabul, Afghanistan, Sabtu (28/9).
Foto: EPA-EFE/JAWAD JALALI
Seorang perempuan memberikan suaranya dalam pemilu di Kota Kabul, Afghanistan, Sabtu (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL –- Pemilihan Presiden (Pilpres) Afghanistan sudah usai pada Sabtu (28/9). Kini, ketidakpastian mengintai Afghanistan diiringi dengan kemungkinan adanya kekisruhan politik.

Pilpres pada Sabtu diiringi dengan kekerasan, ancaman dari Taliban, serta merebaknya tudingan adanya kekeliruan dan penyalahgunaan. Ini adalah keempat kalinya Afghanistan menggelar pemilihan umum sejak 2001, ketika invasi pimpinan Amerika Serikat menggulingkan Taliban. Namun, perdamaian yang dinanti rakyat Afghanistan tampaknya masih belum terwujud lewat pilpres kali ini.

Pejabat komisi pemilihan negara yang meminta tidak menyebutkan jati dirinya mengatakan, secara tidak resmi, jumlah suara pilpres diperkirakan hanya sedikit di atas dua juta pemilih atau sekitar 20 persen dari pemilih terdaftar. Terdapat 9,67 juta pemilih dari 34 juta orang Afghanistan yang terdaftar untuk memberikan suara di sekitar 5.000 tempat pemungutan suara (TPS).

Dengan tingkat partisipasi sekitar 20 persen, artinya hanya satu dari lima orang yang menggunakan hak suara mereka dalam pemilihan kali ini. Angka tersebut adalah penurunan tajam dari sekitar tujuh juta orang yang menggunakan hak suara mereka pada pemilihan presiden terakhir pada 2014.

Penasihat Keamanan Nasional Afghanistan Hamdullah Mohib mengatakan, orang-orang yang memberikan suaranya ke TPS mempertaruhkan nyawa mereka demi menunjukkan bahwa mereka sendiri yang ingin mengendalikan masa depan mereka.

Keamanan yang ketat terjaga untuk memastikan Pilpres Afghanistan berjalan dengan suasan tenang. Meski, ada beberapa serangan kecil.

photo
Kaum perempuan Afghanistan menghadiri kampanye salah satu kandidat presiden, Ashraf Ghani, di Kabul, Afghanistan, Senin (5/8). Ghani akan bertarung untuk jabatan presiden kedua kalinya.

Serangan-serangan yang terjadi belakangan ini memicu rendahnya jumlah pemilih. Selain itu, keluhan warga tentang sistem pemungutan suara meningkatkan kekhawatiran bahwa hasil yang tidak jelas dapat membuat kekacauan lebih lanjut.

Militan Taliban menyerang beberapa tempat pemungutan suara di seluruh negeri. Tujuannya jelas, mereka mencoba menggagalkan proses tersebut. Meski demikian, keamanan ketat dari ribuan polisi Afghanistan mencegah kekerasan skala besar dari pemilihan sebelumnya.

Hasil awal pemungutan suara diharapkan akan keluar setelah 17 Oktober, sementara untuk hasil akhirnya diperkirakan pada 7 November. Jika tidak ada kandidat mendapatkan lebih dari setengah suara, putaran kedua akan diadakan antara dua kandidat utama.

Pemilih terdaftar harus memilih belasan kandidat yang terdaftar. Tapi, pilpres kemungkinan akan mengerucut menjadi pertarungan antara calon pejawat Presiden Ashraf Ghani dan mantan wakilnya, Abdullah Abdullah. n fergi nadira/reuters/ap ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement