REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Serangan udara menghantam Bandara Internasional Mitiga di Ibu Kota Tripoli, Libya, Selasa (2/10). Dalam laporan yang diunggah Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB, pihak yang berada di balik insiden ini diyakini adalah pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.
Selain itu, GNA mencurigai pesawat tempur dimiliki oleh Uni Emirat Arab (UEA) meski hingga saat ini belum dapat diidentifkasi secara jelas. Selama ini, UEA telah diyakini mendukung pasukan Khaftar meski dugaan tersebut dibantah tegas oleh negara itu.
Bandara Mitiga terletak sekitar delapan kilometer atau lima mil dari pusat kota Tripoli dan merupakan satu-satunya bandara yang beroperasi di Ibu Kota Libya tersebut. Namun, penutupan bandara sering dilakukan karena serangan pasukan yang berafiliasi dengan Haftar.
Jika penerbangan dibatalkan di Mitiga, maka pesawat akan dipindahkan operasinya ke Bandara Internasional Misrata di wilayah barat laut Libya. Sejak 4 April lalu, LNA meluncurkan serangan untuk merebut Tripoli. Ibu kota negara Afrika tersebut selama ini berada di bawah GNA yang dipimpin oleh Fayez Al-Sarraj.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pertempuran yang terjadi telah menewaskan lebih dari 1.000 orang dan 5.500 lainnya terluka. Eskalasi konflik yang terus memburuk dikhawatirkan dapat menimbulkan lebih banyak korban, khususnya dari kalangan warga sipil.
Dewan Keamanan PBB telah mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik di Libya untuk menghindari aksi militer dan menghentikannya segera. Tindakan Haftar yang mengerahkan pasukan ke Tripoli dinilai dapat semakin menghambat proses politik yang diperlukan bagi negara Afrika itu dan terus membuat warga sipil dalam bahaya, serta memperburuk penderitaan mereka.
Sejak presiden Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011, Libya dilanda kekacauan dengan faksi-faksi bersenjata yang ingin menguasai pemerintahan secara penuh. Pemerintahan negera itu terbagi atas dua, di mana di Ibu Kota Tripoli, didukung oleh internasional, sementara LNA menguasai wilayah timur dan membentuk pemerintahan.
LNA terus berupaya untuk dapat menguasai dan mengendalikan Libya secara keseluruhan. Situasi terus diperburuk dengan kedatangan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan kelompok militan lainnya yang mengambil kesempatan atas kondisi di negara tersebut.