Jumat 04 Oct 2019 07:21 WIB

Pascakekerasan, Presiden Nigeria Sambangi Afrika Selatan

Warga Afrika Selatan menyerang warga asing yang memiliki bisnis di negara tersebut.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
Warga menjarah sebuah toko di Germiston, di timur Johannesburg, Afrika Selatan, Selasa (3/9).
Foto: AP Photo/Themba Hadebe
Warga menjarah sebuah toko di Germiston, di timur Johannesburg, Afrika Selatan, Selasa (3/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PRETORIA -- Pascagelombang kekerasan yang menyasar warga asing, Presiden Nigeria mengunjungi Afrika Selatan. Banyak warga Nigeria yang harus pulang karena menjadi incaran kekerasan di Afrika Selatan.

Pertemuan Presiden Nigeria Muhammadu Buhari dengan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa pada Kamis (3/10) juga menjadi pertemuan dua perekonomian terbesar di benua Afrika. Perdagangan antara kedua negara pada 2018 mencapai 3,3 miliar dolar AS.

Baca Juga

Afrika Selatan sudah berusaha mempererat lagi hubungan mereka dengan Nigeria dan negara-negara Afrika lainnya. Pemerintahan negara itu dikritik karena tidak segera menentang xenofobia tapi justru menyatakan kekerasan sebagai kejahatan.

Lebih dari 12 orang terbunuh dan 700 orang ditangkap di Johannessburg dan ibu kota Pretoria karena menyerang warga asing yang memiliki bisnis di Afrika Selatan. Beberapa bisnis kecil dibakar dan pemiliknya diserang.

Menteri luar negeri Nigeria menyebut serangan-serangan itu 'menjijikkan' dan menarik duta besar ke Afrika Selatan. Afrika Selatan menutup misi diplomatiknya sementara di Negeria karena mengkhawatirkan keselamatan staf-staf duta besarnya. Di Lagos, perusahaan telekomunikasi raksasa Afrika Selatan MTN menjadi target serangan.

Presiden Afrika Selatan mengatakan pemerintahannya kini sepenuhnya berkomitmen menentang segala kekerasan terhadap warga asing. Ia menyadari rasa frustasi karena tingginya angka pengangguran dan merosotnya ekonomi, tapi ia meminta warganya tidak menyalahkan warga asing.

Dalam beberapa tahun terakhir, Afrika Selatan dihantam gelombang kekerasan terhadap warga Nigeria dan negara Afrika lainnya. Masyarakat setempat menyalahkan warga asing yang mereka anggap telah merebut pekerjaan dan menyelundupkan narkoba.

Serangan kepada warga Nigeria memicu sentimen terhadap perusahaan Afrika Selatan yang berbisnis di Negeria. Banyak warga Nigeria yang meminta perusahaan-perusahaan Afrika Selatan untuk ditutup.

Kekerasan ini sangat berbanding terbalik saat para negara-negara Afrika melakukan perlawanan terhadap penjajahan kulit putih yang dikenal apartheid yang berakhir pada 1994. Dalam perjuangan melawan apartheid itu negara-negara Afrika sangat akrab satu sama lain.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement