Senin 07 Oct 2019 16:01 WIB

Hong Kong Dakwa Dua Orang karena Kenakan Masker

Hong Kong memberlakukan Undang-Undang darurat.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Demonstrasi di Hong Kong
Foto: EPA-EFE/FAZRY ISMAIL
Demonstrasi di Hong Kong

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Otoritas Hong Kong mengajukan dakwaan pertama di bawah undang-undang yang melarang pendemo mengenakan masker, Senin (7/10). Sebanyak dua orang telah ditangkap karena menutup wajah.

Dilaporkan Hong Kong Free Press, kedua orang tersebut adalah mahasiswa laki-laki berusia 18 tahun dan seorang perempuan berusia 38 tahun. Keduanya ditangkap pada Sabtu dini hari di Kwun Tong.

Baca Juga

Dalam memutuskan pelanggaran penggunaan masker, kasus dibawa ke Pengadilan Hakim Timur pukul 09.30 pada Senin. Sekitar 100 pemrotes muncul di pengadilan untuk mendukung terdakwa. Terdakwa laki-laki diberi jaminan 300 dolar Hong Kong, sedangkan terdakwa perempuan terdakwa diberi jaminan 1.000 dolar Hong Kong.

Kasus pengadilan mereka ditunda hingga 18 November. Kedua orang itu tidak diizinkan meninggalkan Hong Kong dan harus mematuhi jam malam antara pukul 23.00 hingga 06.00, tinggal di alamat terdaftar, dan melapor ke polisi seminggu sekali.

Pemerintah Hong Kong tetap menjalankan peraturan darurat yang diresmikan pada Jumat llalu itu oleh pemimpin Hong Kong Carrie Lam. Keputusan ini diharapkan dapat mengakhiri empat bulan protes yang terus meluas. Namun, sebaliknya, itu hanya memperburuk ketegangan di seluruh kota.

Puluhan ribu orang turun ke jalan, berbaris secara damai di pusat Hong Kong dan di beberapa distrik lain. Mereka mengecam kekerasan hukum dan polisi dengan sebagian besar peserta unjuk rasa mengenakan masker.

Pada Ahad sore, polisi mencoba membubarkan kerumunan pengunjuk rasa dengan gas air mata. Namun, pengunjuk rasa mulai melempar batu dan bom molotov, menyerang stasiun metro dan merusak bisnis yang dianggap pro-China.

Dikutip dari The Guardian, sebagian metro ditutup pada Senin setelah stasiun rusak. Para pengunjuk rasa marah karena pihak berwenang telah mulai menutup bagian-bagian dari jaringan MTR sehingga mencegah orang-orang berkumpul untuk protes. Selain itu, polisi menyerang para pengunjuk rasa di stasiun-stasiun.

Mantan pemimpin Hong Kong Chris Patten bergabung dan menentang keputusan Lam. Dia memperingatkan situasinya akan meningkat lebih jauh, kecuali dia memulai negosiasi dengan para pemrotes.

"Jalan ke depan adalah dengan melibatkan para demonstran, terutama para demonstran yang damai," kata Patten kepada Sky News. Dia menyoroti dua insiden di mana remaja terluka parah oleh polisi bersenjata.

Sikap keras pemerintah Hong Kong pun semakin membuat khawatir atas kebebasan sipil ketika biro pendidikan kota ikut terlibat. Bagian pendidikan kota mengatakan kepada sekolah harus memberikan perincian tentang siswa yang memboikot kelas, memakai masker karena alasan politik, atau ambil bagian dalam kegiatan protes lainnya.

Anggota parlemen dan wakil presiden Union Professional Teachers Ip Kin-yuen menyerang arahan tersebut sama sekali tidak diperlukan. "Apa yang benar-benar ingin dicapai oleh biro dengan mengumpulkan angka-angka seperti itu? Dan bagaimana jika beberapa gerakan non-kooperasi terjadi hanya di luar sekolah, haruskah peristiwa ini dilaporkan juga?" ujarnya.

Kebebasan media pun terhalangi pada Ahad. Ketika itu polisi memukuli satu reporter dan memaksa yang lain untuk melepaskan masker gasnya. Padahal hukum melindungi hak untuk mengenakan masker karena alasan profesional. Para pengunjuk rasa juga menabrak wartawan dengan bom molotov ketika mencoba menargetkannya pada polisi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement