REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih teringat jelas di benak Parni Hadi, bagaimana Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie sering meneleponnya pada pukul 01.00 hingga 02.00 pagi. Wartawan senior itu pun tak pernah melupakan cara BJ Habibie memanggil namanya.
“Beliau orangnya luar biasa, tapi tidak pernah membaca koran. Dia hanya ribut kalau ada orang protes lalu langsung telepon saya ‘Parni....’ pakai Bahasa Jerman,” tutur Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi pertama Republika tersebut saat ditemui di rumahnya pada September lalu.
Dalam suasana santai ia bercerita, kelahiran Republika tidak bisa dipisahkan dari sosok Habibie. Kala itu, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang berdiri pada Desember 1990 berpikir, perlunya memiliki sebuah koran sebagai wadah aspirasi umat Islam.
Meski saat itu, pers tengah terkendali dan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) ditutup oleh Presiden Soeharto, namun berkat Habibie sebagai pemimpin ICMI, SIUP khusus Republika bisa dikeluarkan. Akhirnya edisi perdana Republika pun terbit pada Januari 1993, setelah digodok sejak 1992.
Bagi Parni, Habibie bukan hanya Bapak Reformasi atau Bapak Demokrasi, melainkan juga Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia. “Karena dialah pers di Tanah Air bisa berjalan, saya saksi matanya,” tegas dia.
Kenal sejak 1977, Parni menyatakan, hubungannya dengan Habibie bersifat personal, emosional, fenomenal, monumental, serta historikal. Dirinya bahkan sering berdebat dengan Presiden Indonesia ketiga itu.
“Saya bisa panggil dia ‘Mas Rudi’ karena hubungan saya dengan beliau tidak bersifat struktural. Saya bukan anak buahnya seperti yang lain,” kata Parni.
Ia melanjutkan, Habibie pun pernah datang ke rumahnya saat acara lamaran putrinya. Mewakili Parni, waktu itu sang mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tersebut memberikan pidato demi menyambut keluarga besan.
“Bukan lagi soal lamaran, beliau malah bercerita tentang teknologi semangat sekali. Pengetahuan beliau memang luas sekali, jadi kalau tidak dipotong tidak akan berhenti, tapi karena itu di rumah saya, tidak saya potong,” kenangnya.
Pribadi seperti Habibie, menurut Parni jarang ditemukan. Pasalnya, pria yang lahir di Parepare, Sulawesi Selatan itu tak hanya mempunyai Intelligence Quotient (IQ) tinggi, tapi juga emosi, semangat, energi, serta hati nurani tinggi.
“Jika Anda memiliki setidaknya IQ tinggi, emosi tinggi, dan semangat tinggi, maka Anda jenius. Mengapa? Karena seorang jenius energinya tidak pernah habis, fisiknya kuat,” ujar Parni.
Walau demikian Parni menegaskan, Habibie tetap manusia biasa yang tak sempurna. Dirinya bercerita, suatu hari pernah diajak ke sebuah acara di Turki, semua orang di sana terus meneriakkan kata ‘mujahid’ seraya bertepuk tangan.
“Beliau lalu tanya saya, ‘Parni mujahid artinya apa?’ saya jawab mujahid itu pejuang,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Pendiri sekaligus Ketua Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika tersebut menuturkan, banyak sekali kenangan pribadinya dengan tokoh yang dikenal sebagai pembuat pesawat pertama di Tanah Air itu. Tak jarang pula, ia makan bersama Habibie dan Ainun di satu meja.
“Saya dan Mas Rudi memiliki chemistry kuat, kami selalu cocok dan nyambung membahas apa pun. Mbak Ainun sampai bilang, kalau dua orang ini sudah bertemu susah dipisah,” cerita Parni.
Habibie baginya sudah seperti kakak, mentor, hingga fasilitator. Ia mengungkapkan, Habibie pernah menyanggupi apa pun permintaannya. Hanya saja Parni menolak.
“Saya bilang ke beliau, you are my umbrella, tapi saya ingin besar sendiri dan tidak selalu berada di bayang-bayangmu. Mendengar itu, beliau tidak marah malah memeluk saya,” kenang Parni.
Kini usai kepergian tokoh bangsa tersebut pada 11 September lalu, semua orang mulai mencari lebih dalam mengenai Habibie. Kiprah serta prestasi Habibie pun menjadi inspirasi bangsa.
Parni bersyukur masyarakat tak melupakan jasa pria kelahiran 1936 itu, namun dia tak akan lupa bagaimana dahulu Habibie diperlakukan. Terutama ketika Habibie naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto.
“Sekarang orang memuji Habibie seperti apa, tapi dulu pas dia berkuasa, hanya Antara dan Republika yang membela. Dia pernah dibuatkan karikatur seperti Gareng (tokoh wayang), lalu saat masuk ke Sidang Istimewa, dia satu-satunya presiden yang pernah di-huuu (disoraki). Saya nangis melihatnya,” jelas Parni dengan mata berkaca-kaca.
Ia melanjutkan, di saat-saat terakhir, Habibie masih mengirim pesan WhatsApp padanya. Parni masih sempat pula meminta sang presiden ketiga untuk menulis kata pengantar untuk bukunya.
Habibie kemudian memberi kebebasan kepada mantan Wartawan Antara itu menulis kata pengantar apa pun, namun menggunakan namanya. “Maka saya tulis ‘Banyak jejak Parni untuk membangun bangsa di antaranya melalui bank dhuafa (Dompet Dhuafa) dan Republika’ kalimat itu khas Habibie. Dia selalu mengenal saya sebagai Mister Republika,” kata Parni seraya mencontohkan gaya bicara Habibie.