Ahad 13 Oct 2019 13:01 WIB

Turki vs AS: Isyarat Panas Turki untuk AS

Amerika Serikat (AS) menolak operasi militer Turki di Suriah.

Rep: KAMRAN DIKARMA, DWINA AGUSTIN/ Red: Elba Damhuri
Bendera Amerika Serikat (AS) dan Turki.
Foto: Oilprice
Bendera Amerika Serikat (AS) dan Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Pemerintah Turki mengisyaratkan siap merespons dan membalas sanksi yang berpotensi diterapkan Amerika Serikat (AS) sebagai dampak dari operasi militer mereka di Suriah. Ancaman sanksi yang diberikan AS dipastikan tidak akan menghentikan operasi militer yang dilakukan Turki.

“Turki bertempur dengan organisasi teroris yang menciptakan ancaman bagi keamanan nasionalnya. Tak seorang pun boleh meragukan kita akan membalas langkah apa pun yang akan diambil melawan hal ini,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki pada Jumat (11/10).

Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin mengatakan, Presiden AS Trump siap menandatangani perintah eksekutif untuk menyetujui otoritas sanksi baru yang sangat signifikan terhadap Turki. Namun, Pemerintah AS belum mengaktifkan langkah-langkah tersebut.

“Ini adalah sanksi yang sangat kuat. Kami berharap tidak harus menggunakannya, tapi kami dapat mematikan ekonomi Turki jika perlu,” ujar Mnuchin kepada awak media di Gedung Putih pada Jumat.

Menurut dia, Trump terus memantau perkembangan situasi di Suriah. “Presiden prihatin dengan serangan militer yang sedang berlangsung dan potensi penargetan warga sipil, infrastruktur sipil, etnis, atau agama minoritas,” ujarnya.

Turki mulai melancarkan operasi militer di Suriah timur laut pada Rabu malam. Mereka ingin menumpas pasukan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) dan Partai Persatuan Demokratik Suriah (PYD). Ankara memandang YPG sebagai perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK).

PKK adalah kelompok bersenjata Kurdi yang telah melancarkan pemberontakan di tenggara Turki selama lebih dari tiga dekade. Turki telah melabeli YPG dan PKK sebagai kelompok teroris.

Turki juga membidik Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi. SDF diketahui merupakan sekutu utama AS dalam memerangi ISIS di Suriah. Kerja sama antara keduanya berhasil membenamkan kekuasaan ISIS di negara tersebut.

AS Bantah tuduhan meninggalkan Kurdi

Keputusan AS menarik pasukannya di Suriah menimbulkan tuduhan, AS telah berpaling dari pasukan Kurdi di Suriah. "Untuk lebih jelasnya, kami tidak meninggalkan pasukan mitra kami, Kurdi, dan pasukan AS tetap bersama mereka di bagian lain Suriah. Tindakan impulsif Presiden Erdogan untuk menyerang utara Suriah telah menempatkan AS dalam situasi yang sulit," ujar Menteri Pertahanan AS Mark Esper, dikutip dari Aljazirah, Sabtu (12/10).

Esper menyatakan, AS sama sekali tidak memberikan lampu hijau untuk operasi militer yang dilakukan Turki di Suriah. Mereka justru mendorong agar operasi militer tersebut tidak dilaksanakan.

Komentar Esper muncul di tengah kritik tajam terhadap keputusan Presiden Trump untuk menarik kembali pasukan AS di kawasan itu. Keputusan ini berarti meninggalkan Syrian Democratic Forces (SDF) yang dipimpin Kurdi, sekutu utama AS dalam perangnya melawan ISIS.

Hanya beberapa hari setelah keputusan itu, Turki melancarkan operasi militer yang bertujuan membersihkan daerah perbatasan dari pejuang Kurdi. Ankara ingin menciptakan zona aman untuk memukimkan kembali pengungsi Suriah.

Partai Demokrat dan Republikan pun mengecam keputusan AS untuk menarik pasukan. Mereka menyatakan ketakutan atas apa yang akan terjadi pada Kurdi dan kemajuan yang dibuat dalam perang melawan ISIS.

Senator Republik Lindsey Graham yang selama ini menjadi sekutu Trump memimpin suara ketidaksepakatan yang datang dari politisi lain, analis, dan Kristen Evangelis menetang keputusan. Dia menyatakan langkah tersebut "kesalahan terbesar kepresidenan Trump".

"Berdoalah untuk sekutu Kurdi kita yang telah ditinggalkan tanpa malu oleh pemerintahan Trump. Langkah ini memastikan munculnya kembali ISIS," kata Graham, Rabu (9/10).

Graham juga berjanji untuk memperkenalkan undang-undang bipartisan untuk menjatuhkan daftar sanksi pada Turki atas operasinya. Menyusul kritik itu, Trump berjanji akan menghancurkan perekonomian Turki, jika Ankara melakukan sesuatu yang dianggapnya terlarang.

Meski mendapatkan tentangan dari banyak pihak, keputusan Trump menarik pasukan juga mendapatkan dukungan. Seorang rekan senior di Cato Institute, Doug Bandow, yang juga menjabat sebagai asisten khusus mantan presiden Ronald Reagan, mengatakan, tidak masuk akal untuk mengharapkan AS mempertahankan pasukannya di Suriah.

"Gagasan AS harus menjaga pasukannya di Suriah menciptakan demokrasi dan membela Iran di Suriah adalah tidak masuk akal," kata Bandow.

Senada, pensiunan jenderal AS dan mantan asisten menteri luar negeri Mark Kimmitt mengatakan, AS tidak menandatangani komitmen jangka panjang dengan Kurdi. Hubungan keduanya hanya bersifat sementara di medan perang.

"AS tidak mendukung ideologi YPG atau ambisinya untuk mendeklarasikan negara merdeka di Suriah utara," ujar Kimmitt.

Sementara, pasukan Turki telah mengintensifkan serangan di Suriah timur laut pada Jumat. Erdogan mengatakan, Ankara tidak akan berhenti dan akan bersikap tidak peduli atas apa yang dikatakan orang.

ISIS juga mengaku bertanggung jawab atas serangan besar pertamanya sejak serangan Turki dimulai. Seorang pengebom bunuh diri menghantam Kota Qamishli di timur laut Suriah.

Sejauh ini operasi mereka berfokus di Kota Tal Abyad dan Ras Al-Ain. Erdogan mengatakan, pasukannya telah membunuh 109 pasukan Kurdi.

Pasukan AS di Suriah Diserang Artileri

Pasukan AS yang berada di Suriah utara, tepatnya di Kobane, mendapat serangan artileri dari posisi militer Turki pada Jumat (11/10) malam waktu setempat. Tak ada korban jiwa akibat serangan tersebut.

“Ledakan terjadi dalam beberapa ratus meter dari lokasi di luar zona mekanisme keamanan dan di daerah yang diketahui Turki memiliki kehadiran pasukan AS,” ujar juru bicara Pentagon, Brook DeWalt.

Presiden AS Donald Trump diketahui telah mengumumkan penarikan pasukan negaranya dari Suriah. Namun, menurut DeWalt, pasukan AS di Kobane belum ditarik. Setelah serangan artileri itu, personel militer AS dipindahkan dari pos sementara.

DeWalt mendesak Turki agar tak mengambil tindakan ceroboh. “AS menuntut Turki menghindari tindakan yang dapat mengakibatkan tindakan defensif negara,” ujarnya.

Kementerian Pertahanan Turki mengatakan, tak ada tembakan yang diarahkan ke pos pengamatan AS. Mereka mengakui melakukan penembakan. Namun, hal itu merupakan respons atas serangan terhadap pos-pos militernya di selatan Kota Suruc yang berada di seberang perbatasan dari Kobane.

Turki mengaku telah mengambil semua langkah untuk memastikan tak ada pangkalan militer AS yang turut terdampak serangan mereka. “Penembakan dihentikan sebagai akibat dari masalah yang disampaikan kepada kami oleh AS,” ujar Kementerian Pertahanan Turki.

Sebelumnya, Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley mengatakan telah memberi tahu Turki tentang titik posisi atau keberadaan pasukan AS di Suriah. Koordinat presisinya pun diberi tahu kepada Ankara.

Meskipun pasukan AS tidak berniat menembaki militer Turki, Pentagon mencatat, mereka memiliki hak untuk membela diri ketika diserang. “Semua orang menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah militer AS. Kami mempertahankan hak untuk membela diri,” ujar Milley.

Trump sebelumnya telah memperingatkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan agar tak membidik pasukan AS yang berada di Suriah. Jika ada di antara mereka yang menjadi target, Trump menyebut, hal itu akan memicu masalah besar.

“Siapa saja dari orang kami terluka, masalah besar. Saya sudah memberitahu Turki bahwa jika mereka melakukan sesuatu di luar apa yang kita anggap manusiawi, mereka bisa menderita kemurkaan ekonomi yang sangat menghancurkan,” ujar Trump, Senin lalu.

(reuters/ed: setyanavidita llivikacansera)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement